Tuesday, September 1, 2015

Perjalanan Musim Gugur



KAPAL PEMUDA ASEAN-JEPANG 
episode musim gugur



“Musim gugur adalah musim semi kedua ketika daun-daun ibarat bunga”, saya sudah lama jatuh hati dengan kalimat ini, sebuah prase dari seorang penulis Perancis, Albert Camus. Ingin sekali melihat musim gugur, seperti apa indahnya musim gugur itu, seperti apa daun-daun ibarat bunga-bunga yang bersemi. 

Teman-teman heran kenapa saya suka musim gugur, sedangkan kebanyakan orang pasti akan memilih musim semi, apalagi musim semi di Jepang, negeri bunga sakura. Akhir Oktober 2010, saya tiba di Tokyo jam 8 pagi, saat itu memang musim gugur. Sebuah perjalanan yang tak pernah terbayangkan, berada di negeri yang berbeda dari negeri sendiri, bersama teman-teman dari 27 propinsi membawa nama Indonesia. Terlebih dari itu, The Ship for South East Asian Youth Program atau SSEAYP yang mengantarkan saya ke negeri matahari terbit ini, membuat saya merasakan sebuah proses pencapaian yang berarti, rasa-rasa memang seperti mimpi.

Welcome reception di hall The New Otani 



                                                                     




 Merahnya musim gugur di Tokyo.

Musim yang indah. Daun-daun berubah dari kuning ke merah, merah ke coklat, namun musim gugur ternyata sangat dingin; 10 derajat celcius pagi-pagi di Tokyo, dan angin merontokkan daun-daun kering di ranting yang bergetar. Aktivitas begitu padat; institusional visit, art perform, discussion group presentation, exhibition day, ditemani hujan yang sering turun sore-sore, kami diberi kesempatan satu hari menikmati kota.

Menjelang petang di sudut kota, kebersamaan di musim gugur yang dingin tapi hangat.


Kontingen Indonesia berjumlah 27 IPY (Indonesia Participating Youth) dan 1 National Leader (NL). Ada ratusan pemuda dari 10 negara ASEAN dan Jepang, masing-masing partisipan dibagi dalam kelompok diskusi (DG) dan grup solidaritas (SG). Saya tergabung dalam Youth Development, kelompok yang mendiskusikan semua tentang kepemudaan di negara ASEAN-Jepang.




  Discussion Group Youth Development saat berkunjung ke YMCA, sebuah organisasi pemuda kristiani.



Solidarity Group, saya tergabung dalam kelompok Wakayama Prefecture, daerah pantai barat Jepang. Dua jam di atas awan dengan pesawat yang berusaha melewati hujan badai akhirnya sampai, disambut oleh Walikota Wakayama yang ramah dan disuguhi buah-buah tropis tanpa biji. Keesokan harinya berkunjung ke Wakayama University dan menikmati tea ceremony serta belajar memanah bersama local youth, adalah waktu-waktu yang manis bukan?


Homestay Program di Wakayama kurang lebih 3 hari. Homestay mate saya waktu itu bersama Sherry, perwakilan Singapura. Kami tinggal bersama keluarga Seiko yang memiliki 3 anak beranjak remaja; Haruka yang sulung pandai bermain piano dan taiko, musik pukul tradisional Jepang. Taiyo-chan atlit Kendo dan Yumemi paling bungsu serta Obachan dan Ojichan, nenek-kakek yang suka tertawa. 


Makan malam bersama foster family di Wakayama Perfecture, pertama kali saya makan telur   mentah yang enak.

 

Kamar Saya dan Sherry




Koya San Temple, pusat Buddha di dataran tinggi Wakayama.


Esoknya kami dibawa ke Mount Koya atau Koya San orang menyebutnya, tempat peribadatan Buddha. Banyak biksu dengan balutan kain kuning oranye dan makanan vegetarian tentu saja :D .
 



Musim gugur yang senyap di Koya San Temple, pohon-pohon tinggi membuat saya kangen kampung halaman.


Meski hanya sebentar, kenapa begitu berat saat-saat berpisah. Semoga hubungan kekelurgaan ini akan tetap terjalin, serupa kenangan yang akan tetap hidup dalam ingatan.







 Farewell shot bersama Ojichan-Obachan dan Sherry.


Yumemi-chan si bungsu menyelipkan album foto di tangan saya ketika menaiki bis kembali ke Tokyo, gambar-gambar saat di Koya San. Saat itu saya memikirkan persiapan untuk pameran serta pelayaran Fuji Maru ke negara-negara ASEAN. Tak sabar menunggu homestay berikutnya, har-hari akan semakin berkesan. “Arigatou Gozaimast.”


Pameran

 


 Indonesia Exhibition Day di National Youth Council Tokyo.



Kedubes RI untuk Jepang, Bapak Lutfi saat Indonesia Exhibition Day.



Pelayaran Fuji Maru


Musim gugur memasuki November adalah saatnya mulai berlayar dengan Fuji Maru, kapal pesiar Jepang. Lepas sauh dari Pelabuhan Yokohama menuju negara-negara ASEAN; Malaysia –Thailand –Singapura –Indonesia –Vietnam -Jepang. Flag Cheers setiap kontingen negara adalah wajib setiap kali Send Off ceremony meninggalkan pelabuhan dan upacara kenaikan bendera yang pertama saat itu adalah bendera Jepang. Baru kali itu saya melihat dan mendengar langsung orang Jepang menyanyikan lagu kebangsaannya yang sendu dan merdu, saya terharu, saya jadi lebih patriotis.
 

 Flag Cheers saat send off ceremony. Teriakan “Indonesia Jaya!” memecah udara.




Culture and Art performance


Promosi kebudayaan NTB; selalu ada yang ingin berfoto bersama pakean adat pengantin Sumbawa. (dari kanan: Saya, Ben Filipina, Chandra Riau-sekarang Duta Museum Indonesia).



 Indonesia National Day Presentation (NDP)

Art performance memang puncaknya program ini, salah satu jalan untuk memperkenalkan budaya bangsa di mata masyarakat ASEAN dan Jepang. Di setiap institutional visit saat country program di setiap negara tujuan, setiap kontingen negara harus selalu ada pementasan budaya yang berbeda. Pertukaran budaya, menjalin persahabatan, menjadi bagian keluarga baru, berbagi kisah dengan banyak orang asing, merupakan pesan-pesan kehidupan dari setiap perjalanan. “53 Days”, sebuah lagu yang ditulis seorang partisipan Laos, lagu ini yang sering kami nyanyikan bersama. 53 hari berlayar dengan segala warnanya; matahari terbit hangat, lumba-lumba yang melompat mengiringi kapal, matahari yang terbenam di dalamnya laut, ribuan bintang di luasnya langit malam, gelombang, mendung yang mencekam, sampai tragadi virus yang menyerang banyak partisipan di akhir pelayaran. Musim gugur berakhir, awal musim dingin masa-masa sedih saat itu. Semua acara dibatalkan termasuk farewell party, harus stay di cabin dan memakai double masker. Kesulitan dan masalah membuat kami dekat dan lebih peduli satu sama lain, “53 days in a life time, we’ll never forget.”





 “Another place anothet time”, kalimat yang tertulis di sayap bangau kertas origami dari Okasan (Ibu). Mungkin suatu hari saya akan kembali, mengunjungi laut dan pohon-pohon yang pernah membuat saya sangat rindu kampung halaman, semoga mereka tumbuh lebih kuat. 






No comments:

Post a Comment