Friday, September 4, 2015

majalah saku kecil



Ipung Cuomo Bersama Mave Magazine
majalah saku kecil, sederhana, apa adanya

Sejak 2011 Ipung Cuomo memimpin Mave Magazine. Sebuah majalah yang menjadi wadah berkreatifitas anak muda di Indonesia. Laki-laki yang bernama asli Purnawan ini tetap konsisten pada perekembangan industri kreatif indie. Seperti clothing, musik, barbershop, kafe, dan kuliner, menjadi fokus utamanya selama 4 tahun berkreasi.
Berawal dari keprihatinan perkembangan industri kreatif lokal yang mengalami kesulitan untuk bertahan. Menurutnya, banyak dari anak-anak muda Bali yang baru saja memulai usahanya belum mengerti tentang market. Pada akhirnya usaha mengalamai pemerosotan. Sebagai seorang yang cukup lama berkecimpung di media periklanan, Ipung melihat kondisi ini bisa diatasi dengan menyediakan media khusus untuk memperkenalkan industri lokal ini. Berangkat dari kegelisahan itu, laki-laki yang bergelar sarjana advertising ini membuat Mave Magazine sebagai salah satu cara merangkul industri keatif khususnya anak muda.
“Karena melihat keadaan di Denpasar sedang banyak bermunculannya clothing atau distro-distro akhirnya ide kreatif muncul untuk membuat sebuah majalah clothing bertema anak muda. Awalnya berorientasi di sekitar Denpasar dan Kuta saja, karena memang fokusnya untuk lokal. Ide ini muncul karena melihat anak-anak  muda yang punya potensi yang kreatif tapi belum ada wadah untuk menampungnya, alangkah menarik jika ada media yang bisa menulis tentang karya anak-anak  muda ini, akhirnya dibuatlah majalah clothong dengan nama Mave yang disambut baik oleh kalangan anak muda,” jelasnya.
Pocket magazine adalah ide yang fresh dan unik. Ipung berupaya untuk menciptakan sebuah terobosan baru. Mave didesain khusus sebagai majalah anak muda yang nyaman dipegang, diselipkan di kantong jins, ataupun nyaman dimasukkan dalam tas. Isinya sangat mementingkan kwalitas. Ipung berusaha untuk tetap profesional dengan cetakan terbaik. “Banyak sih tempat cetak yang murah, tapi saya tetap ingin yang berkwalitas dan memberikan yang terbaik di kalangna anak muda,” jelas Laki-laki asal Jakarta ini. Percetakan langsung dicetak di Bali, tepatnya di daerah Pulau Moyo. Sekali cetak minimal 4000 eksemplar. Biasanya dicetak 8000an tergantung pemasukan. Ia menjelaskan omsetnya baru mencapai belasan juta perbulan. “Karena kliennya anak muda, mereka belum mengerti budgeting promo, jadi memang dipatok tidak mahal. Tujuannya memang sebagai media untuk anak muda yang memang baru awal berbisnis.” ujarnya lagi.
Mave terbit sekali sebulan setiap tanggal 15. Awalnya kontributor sangat terbatas, karena hanya memberikan informasi wilayah Denpasar. Sekarang sudah cukup banyak. Hampir di setiap kota di Indonesia sudah ada yang meliput khusus seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Jogja, Surbaya, samapi ke Sumatera dan Sulawesi. Menurutnya, karyawan yang stay di kantor sudah cukup 7 sampai 8 orang yang fokus pada media online.
Ipung berharap, Mave semakin berkembang menjadi media yang mengulas segala hal yang berkaitan dengan musik, fashion, movement, atau apapun yang merupakan bagian dari youth culture. Dengan tujuan untuk menjadi jembatan komunikasi yang dirasa amat dibutuhkan kehadirannya. Melalui media, pendekatan dan penyajian informasi terhadap publik akan tersalurkan lebih mudah dan cepat. Hal ini tentu saja  untuk mendukung perkembangan dan kemajuan budaya di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, terutama music, fashion, art and cultures.
Untuk itu, Ipung ingin mengajak seluruh insan yang memiliki keterkaitan dan kecintaan terhadap youth cultures untuk ikut bekerjasama dalam rangka mengontrol, dan mempertahankan keragaman budaya serta meningkatkan potensi masyarakat dibidang ini demi pembangunan kualitas anak-anak muda.

Prinisip Learnging by Doing, Pemberi Semangat Saat Down
Setiap usaha ada pasang surutnya. Begitu yang diyakini Ipung. Ada banyak tantangan yang sudah dilewatinya selama memimpin Mave. Kesulitan yang pernah dihadapi ketika tidak ada yang memasang iklan. Sedangakan Mave adalah majalah gratis yang terbit sebulan sekali. Ipung menyadari di dunia media saat ini banyak free magazine. Menurutnya, majalah yang dulunya memilki harga sekarang malah banyak menjadi free. “Sempat down ketika industri clothing mulai menurun. Karena fenomena itu sayapun terkena dampaknya, tidak ada yang masang iklan. Akhirnya mulai membuka ke industri kreatif lain yang lebih luas. Sekarang masih terus belajar, yang paling penting untuk kesejahteraan karyawannya cukup,” jelas laki-laki yang sudah belasan tahun tinggal di Bali ini. Ipung berusaha bagaimana agar tetap bertahan. Prinsipnya banyak belajar dari pengalaman yang dulu ketika masih bekerja di Jakarta, dimana kliennya memilki bisnis profesional. “Sedangkan untuk klien yang sekarang lebih ke komunitas yang basicnya bukan bisnis, punya tantangan tersendiri. Terkadang sulit berkomunikasi dengan mereka, tapi karena punya prinsip learning by doing jadi tetap yakin dan diusahakan yang terbaik,” tuturnya. Tantangannya lebih memberikan edukasi tentang budgetting dan promo bagaimana produk anak muda ini nanti bisa dikenal orang dan bisa ke luar Bali. “Kebanyakan yang kreatif-kreatif belum berani ke luar Bali padahal mereka punya skill,” komennya. Perrnah ada pengalaman, konsep pocket magazine yang dengan mudah bisa dimaskukkan kantong jins ini, sempat diikut majalah lain yang baru terbit. Awalnya Ipung tidak terlalu memusingkan. Lama-lama ternyata ada inbasnya juga. Ketika Mave mulai merambah ke industri mancanegara, tidak sedikit yang mengomentari majalah Mave mirip dengan majalah yang baru terbit tersebut. Belajar dari situ, Ipung menyadari bagaimana yang bermodal mengalahkan karakter Mave yang saat itu masih menjadi majalah lokal. Akhirnya Ia mengubah desainnya. Dibuat lebih besar lagi dengan bentuk kotak yang cukup unik dan tetap nyaman dipegang serta fleksibel dibawa kemana-mana.



Sering Disangka Majalah Jakarta
Banyak yang mengira Mave adalah majalah Jakarta. Ketika ada email yang masuk, Ipung kerap diundang besoknya dari banyak industri di Jakarta. Ipung menjelaskan kalau Mave adalah majalah Bali. Kontributor special event sudah ada yang foto dan menulis di Jakarta dan di setiap daerah. Untuk berita bisa dikatakan 50 persen  band Bali dan 50 persen luar Bali seperti Jakarta, Bandung, dan Jogja, yang selama ini memilki ulasan cukup banyak.  Ipung tetap konsisten bahwa Mave memilki basic lebih ingin memperkenalkan band-band bali ke luar, dan memperkenalkan band-band luar ke komunitas anak muda Bali. “Benang merahnya sekarang lebih ke industri musik, kita punya agenda tahunan Mave on Tour. Kita undang band-band lokal untuk tampil di jalan. Seperti King of Panda, Simphony of Silent, dan band-band yang punya potensi bagus yang bisa berkesempatan untuk berrmain di luar Bali. Agenda tahunan mengajak band  lokal Bali untuk tour ke luar Bali, sampai ke Bandung dan Jakarta, sebagai penambah pengalaman, ” jelasnya.

Ipung berupaya agar Mave tetap bisa menjadi bagian perkembangan industri kreatif lokal. Dengan membuat event musik dan program Pasar Akhir Pekan. Kliennya punya budget sedikit tidak masalah, yang penting bagi Ipung, secara tidak langsung anak-anak muda mengalami sendiri seperti apa event promosi.  Mave diundang untuk memegang beberapa venue untuk acara anak muda, seperti di planet hollywood, district, dan Hard Rock memberikan free entry khusus Mave selama 6 bulan diadakan seminggu sekali. Setahun sekali, Ipung melahirkan Mave dengan konsep baru. Merubah haluan dalam arti target kliennya banyak ke industri kreatif daerah Kuta yang dilihatnya akan memberi peluang lebih muncul ke permukaan. “Kita punya progrm Pasar Akhir Pekan yang diadakan dari mall ke mall. Awalnya di Lippo Mall. Karena acara kita usahakan fresh dan unik, akhirnya banyak permintaan untuk mengadakan Pasar Akhir  Pekan selanjutnya,” jelas Ipung. Ia membuka kesempatan kepada industri kreatif indie untuk membuka lapak-lapak unik, seperti jualan mainan jadul, kamera analog, dan pementasan musik yang lebih kalem. Saat ini Ia mulai masuk ke event besar, Pasar Akhir pekan selanjutnya akan diadakan di konser Coboy Junior pada Agustus mendatang.


No comments:

Post a Comment