Monday, September 28, 2015

Hewan Lucu Dalam Kaus


Putu Dedi Kurnia Pratama
Kenalkan Hewan Bali lewat  Desain Pezo

Menjadi anak seorang dokter hewan tidak harus menuntutnya untuk ikut terjun ke dunia kesehatan seperti profesi ibunya. Putu Dedi Kurnia Pratama lebih memilih jurusan desain komunikasi visual ketika akan lanjut ke bangku kuliah. Meski banyak teman yang menyangka ia akan mengikuti jejak ibunya, namun sang ibu dokter hewan Tuti, tidak merasa heran. Sedari kecil, pria yang akrab disapa Dedi ini memang menyukai dunia gambar, koleksi komiknya sejak kecil sudah banyak. Meskipun berbeda dengan sang ibu, Dedi kini tetap bisa berkolaborasi dengan ibunya dalam urusan pekerjaan. Setelah selesai kuliah di Surabaya pada 2012, Dedi kembali ke Bali. Pada saat itu ia ingin memilki suatu pekerjaan yang bisa dihandle sendiri seperti usaha bisnis. Awalnya ia memang ingin membuat usaha baju, namun masih bingung dengan konten apa yang bisa disukai banyak orang. “Dulu kepikiran kostum sepakbola, namun mikir lagi itu gak punya ciri khas. Kebetulan ibu berprofesi sebagai dokter hewan, jadi muncul ide mau buat baju untuk penggemar hewan, kayanya itu unik dan akhirnya disepakati,” jelas pria berdarah Bali-Jawa ini.  Usaha baju kaos dengan desain hewan itu diberi nama Pezo, gabungan antara pet dan zoo. Pezo memang dibuat untuk mereka yang memilki binatang peliharaan dan untuk mereka yang peduli terhadap satwa. Sehingga Pezo begitu cepat berkembang dan memilki komunitas sendiri, kemunitas pecinta hewan tertentu. Seperti komunitas pecinta burung, orang utan, anjing, dll. Bukan hanya komunitas pecinta hewan, desain Pezo yang lucu dan unik mampu menarik perhatian banyak orang. Pezo mulai berdiri sejak 2013 yang fokusnya pada baju kaos yang desain gambarnya khusus hewan. Agar punya ciri khas baju kaos khusus hewan, gambar hewannya didesain sendiri dengan model yang spesial. Dedi memiliki keinginan yang besar  untuk mengangkat Bali. Karya desain kaosnya berawal dari hewan-hewan khas Bali, seperti anjing Kintamani dan jalak Bali. Kini orang mengenalnya sebagai Pezo Bali. “Disketch sendiri  dan diberi nama Pezo yang merupakan singkatan dari pet dan zoo. Hewan-hewan yang menjadi desain kaosnya khusus hewan peliharaan dan satwa kebun binatang seperti binatang liar dan satwa langka,” tutur Dedi.
Beragam kendala sering bermunculan pada awal usahanya. Kendala paling utama yaitu pada modal. “Kendala awalnya memang di modal. Apalagi memakai sistem online jadi kebanyakan barangnya harus pre-order dulu,” ungkapnya.  Pertama, Dedi akan membuat desainnya, setelah itu baru dirilis, kemudian ditawarkan, setelah ada order baru akan diproduksi. “Pembeli bayar dulu, kita cetak, baru kita kirim. Modalnya memang dari nol,” imbuhnya. Dedi dan ibunya sangat bersemangat, mereka mendapat sambutan dari banyak komunitas. Sampai sekarang, edisi desain karyanya sudah sampai  38 jenis produk yang sekali rilisnya hanya ada 2 desain. Hewan yang pertama yang merupakan masternya diambil dari hewan khas Bali, karena memang ingin meniakkan image Bali. Waktu itu desain hewan pertama adalah anjing Kintamani. Setelah itu yang kedua jalak Bali. Selanjutnya masih banyak lagi hewan yang lucu-lucu. “Banar-benar ingin mengangkat Bali dulu. Sekarang sudah ada 19 hewan sejak 2013,” jelasnya.
Desain hewan tertentu juga ditawarkan ketika perayaan hari-hari spesial seperti hari kemerdekaan maupun hari valentin. Saat hari kasih sayang kemarin, desain hewan yang dirilis adalah lovebird dan tupai karena melambangkan hewan kasih sayang yang selalu hidup bersama. Banyak yang melakukan orderan sebagai hadiah valentin. Pelanggannya sangat beragam, di Bali sudah sendiri banyak, diluar Bali pun cukup banyak dan hampir seluruh kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, bahkan di beberpa pulau seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, Lombok, dan Flores. “Karena awalnya mahasiswa-mahasiswa dokter hewan yang pernah dibimbing Ibu saya berasal dari banyak daerah, jadi itu sangat membantu proses pemasaran, terlebih lingkungannya sangat cocok yaitu dokter hewan dan pecinta hewan,” jelas pria yang menamatkan kuliahnya di Universitas Kristen Petra Surabaya ini. Pelanggan-pelanggan di luar selalu melakukan orderan tiap kali ada liris edisi baru. Setiap kali pelanggan yang memakai bajunya kerap kali memposting di facebook sehingga dari media sosial membuat infornya cepat tersebar. Bagi Dedi, pengalaman yang paling berkesan, ketika dimina untuk berpartisipasi mengikuti  pameran pet festival atau festival anjing di Univesitas Udayana. Sampai sekarang Pezo tetap mendapat undangna tiap tahunnya. Pameran diadakan setiap Oktober, Veterinary Dog Festival. Pengalaman mempersiapkan semuanya untuk pameran sangat banyak mulai dari banner, spanduk, poster, stiker, album Pezo, dan aksesoris Pezo seperti gantungan kunci.

Orderan Setiap Waktu
Omset tidak dihitung perbulan, karna hampir setiap waktu selalu ada orderan dan produksi. Biasanya dalam jangka waktu satu setengah bulan, ketika produksi sudah dirasa cukup maka akan dirilis desain terbaru. Pre-order selalu ramai ketika desain baru saja dirilis. Sekali pre-order, dalam rentan 10 hari berikutnya baju sudah bisa diproduksi. Harga kaosnya semua Rp 85 ribu bagi pelanggan yang melakukan pre-order. Untuk yang membeli langsung harga dikenai Rp 100 ribu setiap ready stock. Desainnya bukan hanya gambar hewan, tapi juga ilmu tentang hewan itu sendiri. Setiap desain akan dberikan penjelasan tentang kehidupan hewan tersebut. Tujuannya agar orang bisa mengenal dan punya pengetahuan baru tentang hewan. Info hewan berisi dari daerah mana dan makanannya apa saja. Untuk desian yang baru saja selesai September ini adalah merak. Lengkap dengan penjelsan tentang burung cantik tersebut. Banyak desain yang sudah direncanakan, lebih seringnya akan dilemparkan tebakan dulu kepada para pelanggan setia Pezo. Dengan pertanyaan tentang ciri-ciri hewan tersebut, setiap orang yang menebak dengan benar maka akan diberikan hadiah kaos desain hewan terbaru. Desain hewan berikutnya memang sengaja disimpan agar pelanggan juga penasaran dan tertarik.

Anjing Kintamani Paling Digemari
Hewan paling banyak diminati sampai sekarang adalah anjing Kintamani, sejak didesain pertama selalu dicetak ulang sampai sekarang. Begitu juga dengan jalak Bali dan penyu hijau khas Bali. “Tujuannya memang khas Pezo Bali. Keinginan nantinya akan membuka cabang dibanyak tempat. Yang pertama harus dibangun adalah menanamkan image terlebih dahulu, sampai nanti sudah melekat kuat diketahui banyak orang,” harap Dedi. Pelanggan dari luar sudah ada seperti Australi dan Amerika, orang asing langsung pernah minta dibuatkan desain khusus. Selain itu, komunitas-komunitas hewan sering memesan secara khusus tentang hewan favorit mereka. Pezo juga mempunyai kegiatan amal “Pezo Charity”. Bagi yang mau mendapatkan baju tampa mebayarnya bisa hanya dengan menukarkan 3 buah baju bekas. Mereka yang menyumbang akan diberikan kaos Pezo gratis. Baju hasil sumbangan akan diberikan bagi yang membutuhkan dilingkungan sekitar Pezo.
Selain sibuk mengurus usahanya, Dedi juga aktif dikemunitas komik. Banyak desain komik dan karikatur yang sudah banyak dipesan orang. Beberapa penghargaan pernah diraihnya di bidang desain. Komik karyanya sudah bisa didapatkan di Toko Buku Gramedia sejak 2014. Karya komik berikutnya juga sedang dalam proses akan diterbitkan. Saat ini, ia sangat bersykur dengan hobinya yang bisa menghasilkan uang. Harapannya, Pezo bisa berkembang besar sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan, dan membawa nama Bali tentu saja. “Orang bisa mengenal Pezo sebagai kaos lambang hewan. Pelan-pelan sambil menciptakan brand.” Ungkapnya.

Friday, September 4, 2015

majalah saku kecil



Ipung Cuomo Bersama Mave Magazine
majalah saku kecil, sederhana, apa adanya

Sejak 2011 Ipung Cuomo memimpin Mave Magazine. Sebuah majalah yang menjadi wadah berkreatifitas anak muda di Indonesia. Laki-laki yang bernama asli Purnawan ini tetap konsisten pada perekembangan industri kreatif indie. Seperti clothing, musik, barbershop, kafe, dan kuliner, menjadi fokus utamanya selama 4 tahun berkreasi.
Berawal dari keprihatinan perkembangan industri kreatif lokal yang mengalami kesulitan untuk bertahan. Menurutnya, banyak dari anak-anak muda Bali yang baru saja memulai usahanya belum mengerti tentang market. Pada akhirnya usaha mengalamai pemerosotan. Sebagai seorang yang cukup lama berkecimpung di media periklanan, Ipung melihat kondisi ini bisa diatasi dengan menyediakan media khusus untuk memperkenalkan industri lokal ini. Berangkat dari kegelisahan itu, laki-laki yang bergelar sarjana advertising ini membuat Mave Magazine sebagai salah satu cara merangkul industri keatif khususnya anak muda.
“Karena melihat keadaan di Denpasar sedang banyak bermunculannya clothing atau distro-distro akhirnya ide kreatif muncul untuk membuat sebuah majalah clothing bertema anak muda. Awalnya berorientasi di sekitar Denpasar dan Kuta saja, karena memang fokusnya untuk lokal. Ide ini muncul karena melihat anak-anak  muda yang punya potensi yang kreatif tapi belum ada wadah untuk menampungnya, alangkah menarik jika ada media yang bisa menulis tentang karya anak-anak  muda ini, akhirnya dibuatlah majalah clothong dengan nama Mave yang disambut baik oleh kalangan anak muda,” jelasnya.
Pocket magazine adalah ide yang fresh dan unik. Ipung berupaya untuk menciptakan sebuah terobosan baru. Mave didesain khusus sebagai majalah anak muda yang nyaman dipegang, diselipkan di kantong jins, ataupun nyaman dimasukkan dalam tas. Isinya sangat mementingkan kwalitas. Ipung berusaha untuk tetap profesional dengan cetakan terbaik. “Banyak sih tempat cetak yang murah, tapi saya tetap ingin yang berkwalitas dan memberikan yang terbaik di kalangna anak muda,” jelas Laki-laki asal Jakarta ini. Percetakan langsung dicetak di Bali, tepatnya di daerah Pulau Moyo. Sekali cetak minimal 4000 eksemplar. Biasanya dicetak 8000an tergantung pemasukan. Ia menjelaskan omsetnya baru mencapai belasan juta perbulan. “Karena kliennya anak muda, mereka belum mengerti budgeting promo, jadi memang dipatok tidak mahal. Tujuannya memang sebagai media untuk anak muda yang memang baru awal berbisnis.” ujarnya lagi.
Mave terbit sekali sebulan setiap tanggal 15. Awalnya kontributor sangat terbatas, karena hanya memberikan informasi wilayah Denpasar. Sekarang sudah cukup banyak. Hampir di setiap kota di Indonesia sudah ada yang meliput khusus seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Jogja, Surbaya, samapi ke Sumatera dan Sulawesi. Menurutnya, karyawan yang stay di kantor sudah cukup 7 sampai 8 orang yang fokus pada media online.
Ipung berharap, Mave semakin berkembang menjadi media yang mengulas segala hal yang berkaitan dengan musik, fashion, movement, atau apapun yang merupakan bagian dari youth culture. Dengan tujuan untuk menjadi jembatan komunikasi yang dirasa amat dibutuhkan kehadirannya. Melalui media, pendekatan dan penyajian informasi terhadap publik akan tersalurkan lebih mudah dan cepat. Hal ini tentu saja  untuk mendukung perkembangan dan kemajuan budaya di Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, terutama music, fashion, art and cultures.
Untuk itu, Ipung ingin mengajak seluruh insan yang memiliki keterkaitan dan kecintaan terhadap youth cultures untuk ikut bekerjasama dalam rangka mengontrol, dan mempertahankan keragaman budaya serta meningkatkan potensi masyarakat dibidang ini demi pembangunan kualitas anak-anak muda.

Prinisip Learnging by Doing, Pemberi Semangat Saat Down
Setiap usaha ada pasang surutnya. Begitu yang diyakini Ipung. Ada banyak tantangan yang sudah dilewatinya selama memimpin Mave. Kesulitan yang pernah dihadapi ketika tidak ada yang memasang iklan. Sedangakan Mave adalah majalah gratis yang terbit sebulan sekali. Ipung menyadari di dunia media saat ini banyak free magazine. Menurutnya, majalah yang dulunya memilki harga sekarang malah banyak menjadi free. “Sempat down ketika industri clothing mulai menurun. Karena fenomena itu sayapun terkena dampaknya, tidak ada yang masang iklan. Akhirnya mulai membuka ke industri kreatif lain yang lebih luas. Sekarang masih terus belajar, yang paling penting untuk kesejahteraan karyawannya cukup,” jelas laki-laki yang sudah belasan tahun tinggal di Bali ini. Ipung berusaha bagaimana agar tetap bertahan. Prinsipnya banyak belajar dari pengalaman yang dulu ketika masih bekerja di Jakarta, dimana kliennya memilki bisnis profesional. “Sedangkan untuk klien yang sekarang lebih ke komunitas yang basicnya bukan bisnis, punya tantangan tersendiri. Terkadang sulit berkomunikasi dengan mereka, tapi karena punya prinsip learning by doing jadi tetap yakin dan diusahakan yang terbaik,” tuturnya. Tantangannya lebih memberikan edukasi tentang budgetting dan promo bagaimana produk anak muda ini nanti bisa dikenal orang dan bisa ke luar Bali. “Kebanyakan yang kreatif-kreatif belum berani ke luar Bali padahal mereka punya skill,” komennya. Perrnah ada pengalaman, konsep pocket magazine yang dengan mudah bisa dimaskukkan kantong jins ini, sempat diikut majalah lain yang baru terbit. Awalnya Ipung tidak terlalu memusingkan. Lama-lama ternyata ada inbasnya juga. Ketika Mave mulai merambah ke industri mancanegara, tidak sedikit yang mengomentari majalah Mave mirip dengan majalah yang baru terbit tersebut. Belajar dari situ, Ipung menyadari bagaimana yang bermodal mengalahkan karakter Mave yang saat itu masih menjadi majalah lokal. Akhirnya Ia mengubah desainnya. Dibuat lebih besar lagi dengan bentuk kotak yang cukup unik dan tetap nyaman dipegang serta fleksibel dibawa kemana-mana.



Sering Disangka Majalah Jakarta
Banyak yang mengira Mave adalah majalah Jakarta. Ketika ada email yang masuk, Ipung kerap diundang besoknya dari banyak industri di Jakarta. Ipung menjelaskan kalau Mave adalah majalah Bali. Kontributor special event sudah ada yang foto dan menulis di Jakarta dan di setiap daerah. Untuk berita bisa dikatakan 50 persen  band Bali dan 50 persen luar Bali seperti Jakarta, Bandung, dan Jogja, yang selama ini memilki ulasan cukup banyak.  Ipung tetap konsisten bahwa Mave memilki basic lebih ingin memperkenalkan band-band bali ke luar, dan memperkenalkan band-band luar ke komunitas anak muda Bali. “Benang merahnya sekarang lebih ke industri musik, kita punya agenda tahunan Mave on Tour. Kita undang band-band lokal untuk tampil di jalan. Seperti King of Panda, Simphony of Silent, dan band-band yang punya potensi bagus yang bisa berkesempatan untuk berrmain di luar Bali. Agenda tahunan mengajak band  lokal Bali untuk tour ke luar Bali, sampai ke Bandung dan Jakarta, sebagai penambah pengalaman, ” jelasnya.

Ipung berupaya agar Mave tetap bisa menjadi bagian perkembangan industri kreatif lokal. Dengan membuat event musik dan program Pasar Akhir Pekan. Kliennya punya budget sedikit tidak masalah, yang penting bagi Ipung, secara tidak langsung anak-anak muda mengalami sendiri seperti apa event promosi.  Mave diundang untuk memegang beberapa venue untuk acara anak muda, seperti di planet hollywood, district, dan Hard Rock memberikan free entry khusus Mave selama 6 bulan diadakan seminggu sekali. Setahun sekali, Ipung melahirkan Mave dengan konsep baru. Merubah haluan dalam arti target kliennya banyak ke industri kreatif daerah Kuta yang dilihatnya akan memberi peluang lebih muncul ke permukaan. “Kita punya progrm Pasar Akhir Pekan yang diadakan dari mall ke mall. Awalnya di Lippo Mall. Karena acara kita usahakan fresh dan unik, akhirnya banyak permintaan untuk mengadakan Pasar Akhir  Pekan selanjutnya,” jelas Ipung. Ia membuka kesempatan kepada industri kreatif indie untuk membuka lapak-lapak unik, seperti jualan mainan jadul, kamera analog, dan pementasan musik yang lebih kalem. Saat ini Ia mulai masuk ke event besar, Pasar Akhir pekan selanjutnya akan diadakan di konser Coboy Junior pada Agustus mendatang.


Belajar Adalah Perjalanan dan Pizza



Chef Arie Trisnawan
 ngobrol dengannnya seperti mencicipi pizza

Berbicara banyak hal dengan Chef Arie rasanya seperti mendapatkan hidangan pizza di atas meja. Aroma roti hangat dan gurihnya mozarela, hanya sebuah gambaran cara memasak pizza, rasanya seperti nyata. Tulisan ini untuk halaman Persona, Koran Tribun Bali.


“Kita tidak bisa menikmati kesuksesan kalau tidak bisa menikmati prosesnya,” kata Arie, pemilik sebuah rumah makan italian Food, Bellissimo Bali. Bellissimo bermakna handsome atau indah dalam bahasa Italia, ia berharap usaha kuliner pertamanya ini bisa menjadi sesuatu yang menawan hati setiap orang dengan menyajikan masakan Italia yang berkualitas dan harga yang terjangkau.

Masakan Italia yang sangat menyehatkan dan resepnya menggunakan bahan sederhana membuatnya jatuh hati. “Saya sudah belajar banyak jenis makanan dari berbagai negara; masakan Jepang, Thailand, Chinese, Brazil, Meksiko, Yunani, pada akhirnya saya selalu kembali pada masakan Itali,” katanya. Lebih dari satu dekade ia bekerja, melakukan perjalanan, dan percobaan beberapa resep masakan, membuatnya cukup peka dengan rasa setiap masakan. “Masakan yang paling enak adalah masakan rumahan, dan tentu saja tanpa MSG,” jelas pria yang juga sangat suka nasi goreng ini.
Sekitar 3 tahun lamanya ia benar-benar menggeluti masakan Italia, ia bekerja, ia lebih memaknainya sebagai sebuah proses belajar. Bekerja tidak mau fokus pada satu tempat, ia bekerja dibeberapa tempat yang menyajikan masakan Italia, ini membuatnya mendapatkan banyak ilmu baru dalam memasak. Ia suka mencoba banyak hal, namun terkadang segala sesuatu tidak bisa dipaksakan. Ia banyak melakukan percobaan masakan baru dan sering juga tidak berhasil.

“Belajar itu seperti menangkap belut, harus terus berusaha, ketika tidak bisa juga, ya mungkin memang kita harus berhenti dan melepaskannya. Mencoba lagi mempelajari yang baru,” jelas ayah dari Galuh Dara Dinanti ini.

Baginya setiap orang itu bisa menjadi chef, bisa memasak satu masakan saja sudah cukup. Ia tidak pernah melihat pengalaman kerja ketika merekrut pegawainya. Baginya, yang mau belajar, berusaha, dan bekerja keras akan dengan senang hati ia terima.
12 tahun ia bermain di kuliner, sampai ada kesempatan belajar di singapura selama 3 bulan di sana sambil bekerja, tujuannya hanya untuk mengetahui style masakan di sana. Sertifikat tidak berguna baginya, yang paling penting adalah kemampuan.

 “Saya masih terus belajar tentang makanan khususnya bahan apa saja yang bisa dicampur. Pizza Margherita, sejarahnya dulu Ratu Italia datang ke Nepolis dan dibuatkan makanan spesial dengan  paduan warna bendera Italia. Putih didapatkan dari adonan, merah dari saos tomat dan paprika, dan hijaunya dari daun basil, kita harus tau ceritanya ketika membuat sesuatu. Saya terus belajar, membaca, dan sharing sama teman-teman dari luar.” Jelas pria asal Singaraja ini.

Pengalaman Bekerja Dengan Orang Itali
“Saya bekerja dengan orang Itali, dia sangat keras mendidik saya seperti tentara,” terangnya. Ia bekerja sampai 10 jam tanpa makan, karena menurut orang Italia, orang Indonesia selesai makan maunya tidur. Akhirnya ia merasa tertantang dan mengurangi makan nasi. Ia punya anak 2 tahun perempuan, baru umur 5 bulan sudah diberi makan pasta, dan mengurangi makan beras. Menurutnya itu bagus sekali, kalau makan tanpa beras itu lebih bagus lagi karna gula dan karbonya sangat besar akan membuat orang cepat mengantuk dan malas bergerak.

“Dia orang yang sangat baik, sampai sekarang kami berhubungan baik, terkadang minta resep ke saya, saya juga merasa berhutang budi.”

Bagi Ari, ia belumlah ada apa-apanya, bisa dikatakan wirausaha tanpa modal. Sebagai perantau ia merasa harus benar-benar berjuang, karena waktu itu merasa belum punya apa-apa.
“Orang kadang kaget melihat menu saya yang banyak, mereka bertanya apakah saya ready untuk semua itu. Menu saya bisa sampai 30 memang cukup banyak dari tempat yang lain untuk masakan Italia,” jelasnya.
Seperti bolognese, carbonara, spaghetti, ia juga menambahkan menu-menu special of the month. Banyak yang bertanya keputusannya menjual semua itu dengan harga yang murah dan memangnya berapa banyak yang ia dapatkan?
 “Saya hanya ingin mengenalkan ke banyak orang, ini loh makanan Italia yang benar-benar sehat, anti MSG.” Bahkan sausnya benar-benar murni bahan lokal. Satu item bahan, ia bisa kreasikan untuk banyak model makanan, seperti dessert banana, dan ice cream goreng, sama juga untuk membuat pizza, bisa sampai 10 menu dengan nama yang berbeda. Seperti bolognese chicken ia kreasikan dengan jamur menjadi menu baru dengan tambahan sedikit cream, hasilnya makanan baru dengan rasa yang unik dan berbeda.
“Rasanya sangat gurih, ada cream, dan lemparan mashroom sedikit. Sekarang saya lagi bikin green tuna yang terinspirasi dari ibu mertua saya yang sedang bikin pindang. Seperti di Itali ada anchopi yang terbuat dari ikan teri kecil-kecil yang di keringkan, saya mencoba membuat itu dari tuna, saya membuatnya dengan keluaran hijau yang didapatkan dari herb, hasilnya sebuah rasa yang berbeda, sesuatu yang beda.”

Ingin Memajukan Indonesia
Impiannya ingin memajukan Indonesia, mungkin berawal dari Bali. Ia hanya ingin memperkenalkan masakan sehat yang asli dan berkualitas. Agar orang makan benar-benar makan bukan hanya untuk difoto. Menurutnya, orang bisa terlena dengan memotret dulu sebelum dimakan. Untuk kwalitas makanan, harus dimakan langsung ketika disajikan, ketika waktu habis untuk difoto maka bentuknya berubah dan berkurang. Awalnya masakan Itali paling gampang, dan paling cocok dengan lidah orang Indonesia, dan bahannya semua gampang ditemukan, bahkan dari lokal. Semuanya ia ambil sendiri ke petaninya dan ia buat sendiri adonannya. Menurutnya masakan Italia benar-benar asli tanpa banyak plating atau hiasan. Karena bukan untuk difoto, tapi rasanya yang enak dan juga nutrisinya yang sehat. Masakannya sama sekali tidak memakai plating atau hiasan, karna khas makanan Itali tidak ada garnishing, jelasnya.
“Saya lebih cendrung ke personal, menyentuh lidah itu hal yang paling susah. Tantangannya masakan Italia di Indonesia itu memberi rasa yang beragam karena pengaruh rasa dari masakan indonesia yang beraneka, seperti nasi padang dll, sedangkan western itu testnya datar. Saya berusaha untuk membuat test yang tidak datar, bisa memberikan tendangan dan tidak menghilangkan rasa lokal, benar-benar fokus pada feel dan testnya,’ jelasnya lagi.
Ia banyak diundang ke beberapa tempat, tapi ia banyak menolaknya karena merasa belumlah hebat, “Saya baru memulai,” katanya. Menurutnya kebanyakan yang sudah merasa berpengalaman cendrung egois, susah diberi masukan, apalagi kalau umurnya sudah lebih tua. Entrepreneur muda banyak yang gulung tikar, mereka belum paham makna dari prosesnya.
“Saya benar-benar melakukan semuanya, saya yang ke pasar, memasak, mencuci piring. Saya harus merasakan semua prosesnya. Banyak komunitas entrepreneur yang masih sangat muda dan saya selalu mendukung. Mereka terkadang ingin konsep yang komplit dan modal yang besar, hasilnya belum bisa menutupi biaya semuanya.” Jelasnya.

Intinya ia berusaha memanfaatkan bahan yang ada, bahkan recycle sampah ia kreasikan menjadi hiasan. Seperti buah-buah yang bagus dan masih banyak sisanya saya buat sebagai saus. Pengalaman berkesan selama menjalani usaha ini, ia bisa menciptakan masakan baru dari bahan-bahan yang tidak terduga, sehingga orang akan memakannya dengan rasa yang unik.
“Saya gak pernah nyoba masakan yang saya buat, seperti menu spesial. Ketika memasak dasarnya percaya aja. Kita sudah kenal bahannya dan prosesnya seperti minyak dan panas apinya, kalau sudah percaya dan tidak ragu lagi dengan rasanya, kita bisa jadi lebih PD dengan masakan kita.”

Senang Bisa Membantu Orang Lain
Gede Komang Arie Trisnawan yang sudah memulai usahanya sejak 2013 ini tidak mencari keuntungan yang banyak. Menurutnya, banyak orang mungkin akan mempromosikan, tapi ia lebih ke orang itu sendiri, dari teman ke teman. Hal yang paling penting adalah pegawainya  bisa merasa nyaman dan cukup. Baginya, menjadi orang kaya bukan itu tujuannya, yang paling ia inginkan bisa membantu orang lain, peduli sama orang yang benar-benar membutuhkan.
Dari kecil pria berusia 30 tahun ini memang hobi memasak. Sejak SMP ia mulai belajar masakan Bali sampai Karang Asem. Setelah itu ia kuliah di banyak tempat mengambil jurusan manajemen, saat itu ia belum mengerti hobi masak bisa menghasilkan uang. Ia bertemu banyak orang dari seluruh daerah Indonesia ketika kuliah di Malang, setiap liburan ia ke tempat mereka dan mencoba masakannya. Meski saat kuliah ia juga bekerja sebagai tukang parkir dan tukang cuci piring, Ia belajar banyak hal di Malang, bagaimana orang memulai usahanya.
Ia berusaha sampai tidak ada dana suntikan tambahan lagi, sampai sekarang itu semua keluar dari hasil usaha ini, sudah tidak ada dana pribadi seperti awalnya. “Saya masih dalam proses membangun branding, kalau sudah branding saya mau ganti model pasta Itali dengan ubi Indonesia, semuanya lokal,” terangnya.

Tribun Bali edisi 22 Juni 2015
*foto istimewa

Thursday, September 3, 2015

duduk dan berbicara




 untuk halaman Persona

 koran Tribun Bali

Sedari kecil, Cokorda Agung Pramanayogi sudah menyukai fotografi. Pria yang akrab disapa Pram ini kini memilki studio foto sendiri yang diberi nama Pramanta Studio. Pramanta diambil dari nama Pramanayogi Cipta Utari yang merupakan penggabungan nama Pram dan istrinya. Sebelum menjadi Pramanta Studio, pada awalnya studio foto dan video ini bernama “Huruf A” art studio project. Huruf A dibangunnya sendiri pada 2010, dengan semua project diselesiakan sendiri. Setiap ada orderan pekerjaan, Pram memakai Huruf A sebagai lebel pertamanya. Huruf A akhirnya bertransformasi menjadi Pramananta Studio di awal tahun ini dengan lebih banyak bidang tambahan. Selain photo-video, ada juga interior, arsitektur, dan fashion design.
“Awalnya lebih fokus kepada video komunitas. Awalnya studio memang belum dikomersilkan, karena pertama harus membentuk brand, sampai nantinya punya nama yang dikenal banyak orang,” jelas Pram. Pria yang menyukai film dokumenter ini sangat mendukung kegiatan komunitas-komunitas pemuda. Setiap ada event komunitas, Pram dengan senang hati menawarkan diri untuk membuat video eventnya. Hasil filmnya dikasih ke komunitas secara free. Karena dari awal niatnya memang belajar, tidak meminta bayaran. Meskipun menawarkan diri dan free, Pram tetap profesional dalam bekerja. Bekerja baginya adalah berkarya. Yang ia yakini kelak, karyanya ini sebagai portopolio untuk diperlihatkan kepada setiap klien. “saat itu memang free, sekalian belajar dan bisa menambah pengalaman,” ujar Pram.  



Semakin kedepannya, Pram lebih serius menggarap studionya, yang mulai diangkat ke usaha bisnis. Studio yang awalnya bergerak hanya di bidang video dan potografi, sekarang lebih banyak bidang  seperti arsitektur, interior, dan fashion design. Karena melihat pengalamannya semasa kuliah arsitek, Pram memadukan skill ilmu arsitekturnya dengan video-photo. Sedangkan fashion design yang berfokus ke kostum dan aksesoris dibantu istrinya. Project paling besar yang pernah digarap ketika mendapat orderan dari Universitas Pelita Harapan Jakarta yang saat itu akan menyelenggarakan event pameran dan workshop mahasiswa arsitektur, dimana pembicaranya merupakan arsitek dari Jepang. “Dari EO event itu meminta saya untuk membuat video opening acara secara global yang berisi promosi event Trinale Arsitektur UPH. Video yang digarap sesuai dengan tema event saat itu, “Waktu adalah Ruang”,” jelas Pram.

Beberapa orderan yang didapatkan Pram mulai banyak kepada video wedding. Promosinya kebanyakan dari klien sendiri. Karena klien merasa video karya Pram bagus, akhirnya dengan sendirinya promo cepat tersebar dari teman ke teman. Bahkan pernah mendapat orderan dari Jakarta yang tidak mengetahui bahwa kantor Pramananta bermarkas di Bali. Saat ini, Pram sedang fokus menggarap project video berikutnya yang merupakan orderan seorang klien dari Hongkong. Biaya untuk sekali project videonya tergantung dari tipe orderan. Ada yang berupa video dokumentasi yang lebih panjang, ada yang berupa video klip yang berdurasi 5 menit. Harga pembuatan satu project video tergantung dari waktu lamanya produksi. Video yang waktu produksinya bisa sampai seharian memang biayanya lebih mahal dari video klip biasa. Namun Pram tidak mematok harga yang tinggi. Baginya, yang terpenting klien suka dengan hasilnya.
“Kalau video dokumentasi lebih mahal dari video klip biasa, karena waktunya lama, dan lumayan capek menguras tenaga saat produksi dan editing, harus stand by dari pagi dan lembur,” ungkap Pram. Basic awalnya dari video komunitas. Dari situ ia menyadari bergelut di dunia kreatif yang tidak bisa berdiri sendiri. Saling membantu sesama teman yang lainnya dalam berkarya. Saling mendukung sehingga bersama-sama berhasil punya nama, keberhasilan teman yang didukungnya itu membuat Pram ikut senang. Pram merasa usahanya masih baru, dan sekarang akan semakin mematangkan sistem menejemen kantornya. Semua proses dilakukan Pram sendiri, mulai dari merekam, photo take, editing sampai arsitektur desain dilakukannya sendiri.

Berawal Dari Dokumentasi Keluarga
Latar belakang Pram menyukai film memang berasal dari keluarga. Ayah Pram merupakan seorang yang menyukai dokumentasi. Meskipun ayahnya seorang dokter, tapi sangat mencintai dokumentasi, sehingga koleksi foto di rumahnya sangat banyak. Hal itu membuat Pram dari kecil sudah terbiasa dengan kamera. Saat duduk di bangku SMA Pram sudah mulai menyadari tentang ketertarikannya pada video. Berawal dari kakanya yang waktu itu sedang membuat video tentang acara kampus. Dari situ Pram mulai belajar dan sangat menikmati keseruan membuat film. Akhirnya film pertamanya ia garap ketika SMA yang menceritakan tentang organisasinya waktu itu. Ia mulai serius belajar editing pada tahun 2005. Namun Pram merasa itu hanya sekedar hobi, sehingga ketika kuliah ia mengambil jurusaan lain. Namun masa-masa kuliah semangat sineasnya semakin bergairah. Lantaran masa itu mulai banyak bermunculan komunitas film. Ia mulai mengikuti workshop film. Begitu mencintai dunia film, Pram sampai membuat sebuah film sebagai tugas akhir kuliah arsitekturnya. Dari situ ia menyadari ternyata dalam menyampaikan pendapat itu lebih mudah dengan menggunakan audio visual. “Ketika saya menjadi arsitek ketika menjelaskan ide yang ia punya, ternyata lebih gampang dengan film, orang menjadi lebih tertarik dan mudah mengerti tentang konsepnya. Sejak saat itu mulai 2011 saya mulai ikut banyak workshop, mulai serius menggeluti film, mulai belajar banyak tenatng editing, bagaimana teknik video yang benar, “ tutur pemuda yang pernah menjadi Indonesia Youth Ambassador pada program Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang itu.

Dokumenter Samudera Pasifik
Film dokumenter pertamanya menggarap tentang perjalanan program pertukarannya ke Jepang dan negara ASEAN dengan melayari Samudera Pasifik dan laut Cina Selatan. Film itu menceritakan tentang persahabatan pemuda antar negara ASEAN-Jepang. Film itu mendapat sambutaan yang luar biasa dari peserta pertukaran. Menjadi film yang akan dikenang selama perjalanan melayari Samudera Pasifik. Impian Pram saat ini akan menggarap sebuah film dokumenter keluarga.  Tentang perjalanan kehidupan dirinya dan istrinya sampai anaknya remaja. Terhadap Pramanta Studio, Pram menganggap setiap usaha harus punya value. “Usaha buat saya adalah karya, kita memang membutuhkan uang tapi bukan itu tujuan utamanya. Ketika melakukan pekerjaan dengan benar maka uang itu akan datang, karena usaha yang kita kerjakan sebaiknya akan bernilai dengan sendirinya. Yang paling penting dalam usaha saya adalah karya. Saya paling berkesan ketika melihat hasil  karya film yang saya buat, mulai dari yang biasa ketika memakai kamera pocket, sampai mengalami perkembangan yang lebih baik saat ini, hal itu yang sangat memotivasi saya, mengingat lagi ketika bagaimana awal berjuang dulu,“ jelas Pram. Salah satu karya filmnya yang mendapat penghargaan yaitu film pendek fiksi “532”  sebagai the best director dan the best movie SSEAYP film festival 2012.


*Persona, Tribun Bali edisi 24 Agustus 2015