Thursday, September 3, 2015

Bangsa dari Awan



Bangsa dari Awan
keluarga

Saya tak pernah menulis hal ini sebelumnya, padahal saya selalu memperhatikan ini sejak saya kecil, dan bertanya-tanya beberapa hal tentang kisah yang ada di desa saya. Banyak hal, tapi saya memulainya menulis kisah dari rumah saya sendiri.

 Kediaman Lalu Bangsawan Hidayat, Lingk.Motong Ds.Kuang, Taliwang, KSB

Beberapa waktu yang lalu, sekitar pertengahan 2013, saya baru saja pulang ke  kampung halaman saya, Taliwang. Rumah saya terletak di Kampung Motong Desa Kuang, tepat di belakang SDN 11 Taliwang. Dimana ibu saya sudah hampir 40 tahun menjadi guru di sana, dan saya juga mengenyam pendidikan di sana.
Kampung Motong, seperti namanya, “motong” artinya hangus, pada jaman dahulu kampung ini memang pernah mengalami kebakaran besar. Nama kampung ini yang sebenarnya sebelum bernama Kampung Motong adalah Kampung Tengah Dalam, yang juga pada jaman dahulu kala adalah sebuah Kerajaan Tengah Dalam. Siapapun ynang datang untuk pertama kali ke Kampung Motong, dan menanyakan dimana letaknya, mereka akan mendapatkan jawaban bahwa Kampung Motong adalah kampung yang banyak keturunan bangsawannya, begitu yang diyakini beberapa orang. Di sebelah barat Kampung ini, ada sebuah pemakaman, “Makam Datu Pangeran” namanya, tepat dibelakang masjid besar. Seperti namanya, pemakaman ini memang pemakaman keturunan Datu Pangeran, yang nisannya berupa batu-batu besar seperti batu marmer dengan ukiran tulisan arab yang menceritakan sejarah atau perjalanan raja-raja tersebut.

Sejak saya kecil, banyak orang yang sering berdatangan ke rumah, orang-orang dari kampung lain, saya tidak mengenal mereka. Mereka datang untuk meminta air. Air. Air yang bisa menyembuhkan penyakit “Kerapa”, sejenis penyakit panas dalam. Saya belum paham mengapa orang-orang datang untuk meminta air pengobatan itu kepada Eyang saya. Eyang saya dikenal orang sebagai Lala Banda. Lala adalah sebutan untuk perempuan keturunan bangsawan. Mereka mengatakan keluarga saya adalah keturunan Sultan Jalaluddin dari Makasar. Saya melihat nama saya dan nama keturunan keluarga saya ada dalam sebuah buku tentang Kerajaan Sumbawa. Saya juga dipanggil Lala Anis, lalu adik saya Lala Denda, dan abang saya Lalu Aan, Lalu adalah panggilan gelar bangsawan untuk laki-laki. Ayah saya bernama Lalu Bangsawan, lalu orang-orang memanggilanya Dea Raden Awan (Aweng).
 Makam satu diantara Pangeran Taliwang. Nisannya terbuat dari batu marmer dengan ukiran tulisan arab berkisah tentang perjlanan hidup.

Eyang saya, Lala Banda, sebenarnya bukanlah Eyang yang berarti nenek. Nenek saya benama Soraya dan sudah meninggal waktu saya masih teramat kecil.  Eyang Lala Banda adalah sepupu nenek saya yang sudah tidak punya orang tua lagi, akhirnya tinggal bersama keluarga kami. Lala Banda, tidak memiliki anak, tidak pernah menikah. Dia menganggap saya sebagai anaknya. Saya, Adik, dan Abang sudah dianggap seperti anaknya, kami memanggilnya Ea’. Namun dintara semuanya, hanya saya yang dipanggil sebagai anak Lala Banda. Saya yang paling dekat dengan Ea’ Lala Banda, saya sering menghabiskan waktu di ruangannya. Saya sangat suka ketia Ea’ bercerita, dia banyak memiliki cerita dongeng. Saya tidak bisa melupakan perasaan dan imajinasi saya tentang dongeng-dongeng itu; bagaimana seekor pipit kecil yang belum bisa terbang bisa berada di atas pohon yang sangat tinggi sampai ke langit, bagaimana seorang perempuan menciptakan ukiran motif kain dengan bekas jejak kaki lalat. Hanya ada 2 orang yang suka menceritakan saya dongeng, Ea’ dan ayah saya.

Dulu banyak yang tinggal di rumah saya, “Jaman dulu rumah ini sangat besar, rumah panggung dengan halaman yang luas dan tiang-tiang yang besar, semua keluarga tinggal di sini,” jelas Ibu.
Jaman dahulu setiap keturunan raja harus menikah dengan sesama keturunan kerajaan. Banyak yang tidak menikah, laki-laki maupun perempuan karena tidak mudah menemukan sesama keturunan raja. Salah satunya Ea’ Lala Banda. Menikah sesama keturunan diyakini kelak kehidupan keluarga akan bahagia dan tentram, saling mengasihi karena berasal dari keturunan yang sama atau kerajaan sahabat.

Banyak kisah, termasuk yang masih ada sampai sekarang adalah kisah air itu. Dari dulu orang-orang memang sudah banyak berdatangan untuk meminta air itu, “mido kerapa” atau obat kerapa. Hanya segelas air yang berasal dari air minum biasa. Orang datang dengan membawa sebotol air, lalu Ea’ saya Lala Banda akan membacakan air itu dengan Al-Fatihah dan doa yang dimohonkan kepada Allah SWT semoga penyakit yang diderita orang itu cepat sembuh. Setelah air botol itu dibacakan doa Al-Fatihah lalu Ea’ Lala Banda akan memberikan mereka “apus”, sejenis lulur atau bedak dingin yag terbuat dari kayu “babak kelaner”.

Kayu babak kelaner, sampai sekarang saya tidak tahu apa bahasa Indonesianya. Pohon ini hanya tumbuh digunung paling pelosok, di sebuah desa bernama Seloto. Ea’ Lala Banda selalu meminta tolong keluarga yang ada di Seloto untuk membawakan kayu babak kelaner. Kayu ini ditumbuk halus lalu dicampurkan dengan beras yng juga sudah ditumbuk halus, kemudian dibentuk bulat kecil seperti kacang telur, setelah itu dijemur. Obat inilah “Apus”, yang sangat berkhasiat menyembuhkan panas dalam orang-orang yang datang ke rumah saya. Apus bisa dipake sebagai lulur di seluruh badan agar terasa segar, bisa juga di pakai sebagai masker wajah karena berhasiat menghaluskan wajah juga menghilangkan jerawat, dan bagi yang menderita penyakit panas dalam, mereka bisa meminumnya seperti obat, mencampurnya dengan minuman, atau mengoleskan di kening dan leher agar meresap ke kulit dan saraf-saraf menjadi segar.

Babak Kelaner, bagaimana Ea’ Lala Banda bisa tahu khasiat kayu itu. Pada momen pulang kampung itu saya bertanya kepada Tante saya, kakak dari Ayah saya, Aya Lala Embu saya memanggilnya. Nama lengkapnya Lala Mas Cembuan, orang memanggilnya Lala Embu. Setelah Ea’ Lala Banda wafat di tahun 2010, orang-orang tetap berdatangan untuk meminta air “mido kerapa”, akhirnya Aya Lala Embu yang meneruskan. Aya Lala Embu menceritakan sejarah mido kerapa ini. Memang sudah dari dahulu, sejak jaman buyut saya, lalu turun temurun diteruskan sampai ke Ea’ Lala Banda, lalu sekarang Aya Lala Embu. “Hanya keturunan kitalah yang bisa meneruskan,” jelasnya, lalu mulai bercerita.

Pada saman kerajan dahulu, yaitu Kerajaan yang rajanya bernama Datu Jereweh. Putri dari kerajaan itu menderita penyakit seperti penyakit panas dalam dan tak bisa disembuhkan. Hingga pada suatu malam Sang Raja bermimpi tentang sebuah pohon yang tumbuh di atas gunung di pelosok desa. Pohon itulah pohon babak kelaner. Akhirnya kayu pohon babak kelaner ini dibawa ke istana dan dibuatkan darinya ramuan obat untuk Sang Putri. Kemudian atas Kuasa Yang Maha Besar, Sang Putri sembuh. Banyak yang mencoba melakukan pengobatan ini tapi tidak bisa, hanya keturunannya yang bisa, “dan kita adalah keturunan kerajaan dari Datu Jereweh yang datang dari Kerajaan Makasar”, jelasnya. Saya tidak tahu seperti apa sejarah kerajaan Sumbawa dan Taliwang. Saya tidak akan menjelaskannya, yang saya tahu bahwa Kerajaan Taliwang sudah ada 400 tahun sebelumnya dari Kerajaan Sumbawa. Bukti sejarah banyak ditemukan, seperti makam-makan dan benda-benda bersejarah, namun sampai sekarang banyak cerita yang berbeda-beda.

Bukan hanya cerita tentang babak kelaner ini, tapi banyak beberapa barang antik yang diyakini sebagai peninggalan sejarah ada di rumah saya, hingga pernah suatu hari beberapa orang dari museum daerah datang ke rumah saya untuk membayar sebuah Bak Batu besar, “Teleku Batu” namanya. Iya, Teleku Batu atau Bak Batu, sangatlah terkenal di Taliwang khusunya di sekitar kampung saya. Setiap ada upacara adat pernikahan, semua orang akan datang ke rumah saya untuk meminjam Teleku Batu ini, sebagai salah satu tradisi upacara mandi pengantin. Teleku Batu ini seperti bak mandi besar, terbuat dari batu alam yang halus dan berwarna kekuningan. Teleku akan diisi dengan air yang didalamnya sudah ditaburi beraneka macam bunga yang wangi. Sebelum acara adat “Barodak” atau berluluran saat malam persiapan resepsi pernikahan, pengantin terlebih dahulu dimandikan dengan air dalam Teleku Batu ini. Adat mandi dengan air teleku batu ini memang tidak wajib dilakukan, namun ini sudah menjadi tradisi adat yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang. Kata orang, ini adalah bak mandi Sang Putri dari Kerajaan Tengah Dalam, yang sekarang adalah tanah tempat  rumah saya berdiri. Jadi ketika pengantin  perempuan dan laki-laki melakukan upacara mandi pengantin dengan Teleku Batu ini, rasanya seperti putri dan raja.

Iyah, begitulah sejarahnya. Memang ada beberapa hal yang masih menjadi kepercayaan masyarakat. Seperti ketika mereka selesai meminjam Teleku batu, mereka akan mengembalikannya dengan beberapa isian seperti kembang 7 rupa, beras beberapa biji berwarna merah kuning, buah, telur, kelapa tua, bahkan pernah ada sebuah ayam panggang. Aya Lala Embu langsung marah dan menjelaskan kalau Teleku Batu ini hanyalah bak batu biasa. Tidak perlu diisi dengan bunga 7 rupa bahkan sebotol air mandi pengantin. Siapapun yang meminjam Teleku Batu ini, tolong dikembalikan sebagaimana adanya waktu dipinjam, yaitu dalam keadaan kosong. Teleku Batu ini sama dengan batu-batu yang lainnya.

Bukan hanya Teleku Batu ini yang belum dipahami juga oleh beberapa masyarakat disekitar, air mido kerapapun dianggap air ajaib. Banyak orang yang datang meminta air ke rumah saya untuk obat panas dalam ini. Namun dengan tegas Aya Lala Embu menolaknya dan menjelaskan bahwa air di rumah kami sama saja dengan air yang kalian minum setiap hari, sama saja dengan semua air yang ada di dunia ini. Jadi ketika ada orang yang datang untuk didoakan silahkan bawa air sendiri.

“Beli saja air botol di toko, bawa ke rumah kami dan kami akan memohon doa kepada Allah SWT. Semua kesembuhan adalah atas pertolongan Tuhan,” begitu Aya Lala Embu menambahkan. Maka sekarang ketika orang-orang datang ke rumah mereka akan membawa air botol sendiri.

Namun ada kejadian unik, tepat waktu saya mudik di tahun 2013 lalu, ketika itu ada 2 orang ibu-ibu dari desa yang jauh, saya lupa nama desanya, mereka datang ke rumah, waktu itu ada saya, ibu, dan Aya Lala Embu. Awalnya mereka masuk ke halaman rumah, dan bertanya apakah ini rumah Lala. Iya, ibu saya menjawabnya dan mempersilahakan mereka masuk. Saat itu malam hari, mereka datang dari sebuah desa yang bahkan Aya dan Ibu saya baru mendengar nama desa itu. Mereka menceritakan kalau nenek mereka sedang sakit, dan nenek mereka memimpikan tentang rumah kami, mereka disuruh mencari rumah ini dan meminta air yang didoakan oleh orang rumah ini. Mereka datang jauh-jauh tengah malam. Sudah lama nenek mereka memimpikan rumah ini dan mereka berusaha menemukan sambil bertanya ke banyak orang.

Setelah orang itu pulang dan diberikan air mido kerapa oleh ibu dan aya, tiba-tiba seorang teman saya datang. Ririn namanya, dia sudah menikah dan membawa anaknya. Waktu itu dia datang bersama suaminya juga, mungkin sudah 3 tahun saya tidak pernah bertemu dengannya, teman SMA saya. Dia membawa sebotol air aqua dan menjelaskan kalau anaknya sakit panas dalam. Semua obat dokter sudah tidak mempan kecuali mido kerapa. Saya bertanya apakah sangat cocok Apus babak kelaner, dia menjelaskan kalau sudah sering dia ke rumah saya untuk meminta mido kerapa sejak anaknya sakit. Ketika minum air mido kerapa dan babak kelaner anaknya bisa sembuh dengan cepat. Banyak cerita, bahkan orang dari luar kota seperti Jakarta dan Kalimantan pernah datang untuk meminta air mido kerapa dan babak kelaner, bahkan beberapa petugas kesehatan seperti bidan dan dokter sering meminta air ini.
Entahlah, ini hanya air biasa yang sama seprti air yang diminum oleh semua orang. Hanya sebotol air yang dijual di toko-toko. Tapi atas Kuasa Tuhan melalui doa dan niat yang baik maka memiliki kekuatan untuk menyembuhkan.

“Bangsawan dulu di sini, bukanlah orang yang memiliki harta kekayaan yang banyak, tanah yang banyak, atau memiliki kekuasaan. Bangsawan adalah gelar kehormatan bagi orang yang berprilaku baik, sopan, dan halus. Mereka menjadi pemimpin, cendikiawan, dan berprilaku lemah lembut. Mereka dianggap sama dengan orang-orang yang turun dari langit, bangsa dari awan, atau disebut bangsawan,” Ucap Ibu saya.
Jaman dahulu memang sangat berbeda dengan sekarang. Bahkan ketika saya kecil, teman-teman tidak pernah datang ke rumah saya untuk bermain, saat itu saya belum paham mengapa. Alsannya karena malu dan harus berprilaku sopan. Meski berasal dari keturunan kerajaan tetapi di akte kelahiran kami sudah tidak disisipkan gelar bangsawan itu, Raden Hidayat. Sebuah gelar seperti amanah, harus dipegang teguh dengan sepenuh keyakinan. Walaupun sampai sekarang saya masih dipanggil Aya Lala Anis, tapi ini bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan, ini sebuah amanah. Awalnya terasa berat, terasa sangat aneh, namun rasanya kehidupan tetap berjalan seperti biasa.

No comments:

Post a Comment