Friday, September 4, 2015

Belajar Adalah Perjalanan dan Pizza



Chef Arie Trisnawan
 ngobrol dengannnya seperti mencicipi pizza

Berbicara banyak hal dengan Chef Arie rasanya seperti mendapatkan hidangan pizza di atas meja. Aroma roti hangat dan gurihnya mozarela, hanya sebuah gambaran cara memasak pizza, rasanya seperti nyata. Tulisan ini untuk halaman Persona, Koran Tribun Bali.


“Kita tidak bisa menikmati kesuksesan kalau tidak bisa menikmati prosesnya,” kata Arie, pemilik sebuah rumah makan italian Food, Bellissimo Bali. Bellissimo bermakna handsome atau indah dalam bahasa Italia, ia berharap usaha kuliner pertamanya ini bisa menjadi sesuatu yang menawan hati setiap orang dengan menyajikan masakan Italia yang berkualitas dan harga yang terjangkau.

Masakan Italia yang sangat menyehatkan dan resepnya menggunakan bahan sederhana membuatnya jatuh hati. “Saya sudah belajar banyak jenis makanan dari berbagai negara; masakan Jepang, Thailand, Chinese, Brazil, Meksiko, Yunani, pada akhirnya saya selalu kembali pada masakan Itali,” katanya. Lebih dari satu dekade ia bekerja, melakukan perjalanan, dan percobaan beberapa resep masakan, membuatnya cukup peka dengan rasa setiap masakan. “Masakan yang paling enak adalah masakan rumahan, dan tentu saja tanpa MSG,” jelas pria yang juga sangat suka nasi goreng ini.
Sekitar 3 tahun lamanya ia benar-benar menggeluti masakan Italia, ia bekerja, ia lebih memaknainya sebagai sebuah proses belajar. Bekerja tidak mau fokus pada satu tempat, ia bekerja dibeberapa tempat yang menyajikan masakan Italia, ini membuatnya mendapatkan banyak ilmu baru dalam memasak. Ia suka mencoba banyak hal, namun terkadang segala sesuatu tidak bisa dipaksakan. Ia banyak melakukan percobaan masakan baru dan sering juga tidak berhasil.

“Belajar itu seperti menangkap belut, harus terus berusaha, ketika tidak bisa juga, ya mungkin memang kita harus berhenti dan melepaskannya. Mencoba lagi mempelajari yang baru,” jelas ayah dari Galuh Dara Dinanti ini.

Baginya setiap orang itu bisa menjadi chef, bisa memasak satu masakan saja sudah cukup. Ia tidak pernah melihat pengalaman kerja ketika merekrut pegawainya. Baginya, yang mau belajar, berusaha, dan bekerja keras akan dengan senang hati ia terima.
12 tahun ia bermain di kuliner, sampai ada kesempatan belajar di singapura selama 3 bulan di sana sambil bekerja, tujuannya hanya untuk mengetahui style masakan di sana. Sertifikat tidak berguna baginya, yang paling penting adalah kemampuan.

 “Saya masih terus belajar tentang makanan khususnya bahan apa saja yang bisa dicampur. Pizza Margherita, sejarahnya dulu Ratu Italia datang ke Nepolis dan dibuatkan makanan spesial dengan  paduan warna bendera Italia. Putih didapatkan dari adonan, merah dari saos tomat dan paprika, dan hijaunya dari daun basil, kita harus tau ceritanya ketika membuat sesuatu. Saya terus belajar, membaca, dan sharing sama teman-teman dari luar.” Jelas pria asal Singaraja ini.

Pengalaman Bekerja Dengan Orang Itali
“Saya bekerja dengan orang Itali, dia sangat keras mendidik saya seperti tentara,” terangnya. Ia bekerja sampai 10 jam tanpa makan, karena menurut orang Italia, orang Indonesia selesai makan maunya tidur. Akhirnya ia merasa tertantang dan mengurangi makan nasi. Ia punya anak 2 tahun perempuan, baru umur 5 bulan sudah diberi makan pasta, dan mengurangi makan beras. Menurutnya itu bagus sekali, kalau makan tanpa beras itu lebih bagus lagi karna gula dan karbonya sangat besar akan membuat orang cepat mengantuk dan malas bergerak.

“Dia orang yang sangat baik, sampai sekarang kami berhubungan baik, terkadang minta resep ke saya, saya juga merasa berhutang budi.”

Bagi Ari, ia belumlah ada apa-apanya, bisa dikatakan wirausaha tanpa modal. Sebagai perantau ia merasa harus benar-benar berjuang, karena waktu itu merasa belum punya apa-apa.
“Orang kadang kaget melihat menu saya yang banyak, mereka bertanya apakah saya ready untuk semua itu. Menu saya bisa sampai 30 memang cukup banyak dari tempat yang lain untuk masakan Italia,” jelasnya.
Seperti bolognese, carbonara, spaghetti, ia juga menambahkan menu-menu special of the month. Banyak yang bertanya keputusannya menjual semua itu dengan harga yang murah dan memangnya berapa banyak yang ia dapatkan?
 “Saya hanya ingin mengenalkan ke banyak orang, ini loh makanan Italia yang benar-benar sehat, anti MSG.” Bahkan sausnya benar-benar murni bahan lokal. Satu item bahan, ia bisa kreasikan untuk banyak model makanan, seperti dessert banana, dan ice cream goreng, sama juga untuk membuat pizza, bisa sampai 10 menu dengan nama yang berbeda. Seperti bolognese chicken ia kreasikan dengan jamur menjadi menu baru dengan tambahan sedikit cream, hasilnya makanan baru dengan rasa yang unik dan berbeda.
“Rasanya sangat gurih, ada cream, dan lemparan mashroom sedikit. Sekarang saya lagi bikin green tuna yang terinspirasi dari ibu mertua saya yang sedang bikin pindang. Seperti di Itali ada anchopi yang terbuat dari ikan teri kecil-kecil yang di keringkan, saya mencoba membuat itu dari tuna, saya membuatnya dengan keluaran hijau yang didapatkan dari herb, hasilnya sebuah rasa yang berbeda, sesuatu yang beda.”

Ingin Memajukan Indonesia
Impiannya ingin memajukan Indonesia, mungkin berawal dari Bali. Ia hanya ingin memperkenalkan masakan sehat yang asli dan berkualitas. Agar orang makan benar-benar makan bukan hanya untuk difoto. Menurutnya, orang bisa terlena dengan memotret dulu sebelum dimakan. Untuk kwalitas makanan, harus dimakan langsung ketika disajikan, ketika waktu habis untuk difoto maka bentuknya berubah dan berkurang. Awalnya masakan Itali paling gampang, dan paling cocok dengan lidah orang Indonesia, dan bahannya semua gampang ditemukan, bahkan dari lokal. Semuanya ia ambil sendiri ke petaninya dan ia buat sendiri adonannya. Menurutnya masakan Italia benar-benar asli tanpa banyak plating atau hiasan. Karena bukan untuk difoto, tapi rasanya yang enak dan juga nutrisinya yang sehat. Masakannya sama sekali tidak memakai plating atau hiasan, karna khas makanan Itali tidak ada garnishing, jelasnya.
“Saya lebih cendrung ke personal, menyentuh lidah itu hal yang paling susah. Tantangannya masakan Italia di Indonesia itu memberi rasa yang beragam karena pengaruh rasa dari masakan indonesia yang beraneka, seperti nasi padang dll, sedangkan western itu testnya datar. Saya berusaha untuk membuat test yang tidak datar, bisa memberikan tendangan dan tidak menghilangkan rasa lokal, benar-benar fokus pada feel dan testnya,’ jelasnya lagi.
Ia banyak diundang ke beberapa tempat, tapi ia banyak menolaknya karena merasa belumlah hebat, “Saya baru memulai,” katanya. Menurutnya kebanyakan yang sudah merasa berpengalaman cendrung egois, susah diberi masukan, apalagi kalau umurnya sudah lebih tua. Entrepreneur muda banyak yang gulung tikar, mereka belum paham makna dari prosesnya.
“Saya benar-benar melakukan semuanya, saya yang ke pasar, memasak, mencuci piring. Saya harus merasakan semua prosesnya. Banyak komunitas entrepreneur yang masih sangat muda dan saya selalu mendukung. Mereka terkadang ingin konsep yang komplit dan modal yang besar, hasilnya belum bisa menutupi biaya semuanya.” Jelasnya.

Intinya ia berusaha memanfaatkan bahan yang ada, bahkan recycle sampah ia kreasikan menjadi hiasan. Seperti buah-buah yang bagus dan masih banyak sisanya saya buat sebagai saus. Pengalaman berkesan selama menjalani usaha ini, ia bisa menciptakan masakan baru dari bahan-bahan yang tidak terduga, sehingga orang akan memakannya dengan rasa yang unik.
“Saya gak pernah nyoba masakan yang saya buat, seperti menu spesial. Ketika memasak dasarnya percaya aja. Kita sudah kenal bahannya dan prosesnya seperti minyak dan panas apinya, kalau sudah percaya dan tidak ragu lagi dengan rasanya, kita bisa jadi lebih PD dengan masakan kita.”

Senang Bisa Membantu Orang Lain
Gede Komang Arie Trisnawan yang sudah memulai usahanya sejak 2013 ini tidak mencari keuntungan yang banyak. Menurutnya, banyak orang mungkin akan mempromosikan, tapi ia lebih ke orang itu sendiri, dari teman ke teman. Hal yang paling penting adalah pegawainya  bisa merasa nyaman dan cukup. Baginya, menjadi orang kaya bukan itu tujuannya, yang paling ia inginkan bisa membantu orang lain, peduli sama orang yang benar-benar membutuhkan.
Dari kecil pria berusia 30 tahun ini memang hobi memasak. Sejak SMP ia mulai belajar masakan Bali sampai Karang Asem. Setelah itu ia kuliah di banyak tempat mengambil jurusan manajemen, saat itu ia belum mengerti hobi masak bisa menghasilkan uang. Ia bertemu banyak orang dari seluruh daerah Indonesia ketika kuliah di Malang, setiap liburan ia ke tempat mereka dan mencoba masakannya. Meski saat kuliah ia juga bekerja sebagai tukang parkir dan tukang cuci piring, Ia belajar banyak hal di Malang, bagaimana orang memulai usahanya.
Ia berusaha sampai tidak ada dana suntikan tambahan lagi, sampai sekarang itu semua keluar dari hasil usaha ini, sudah tidak ada dana pribadi seperti awalnya. “Saya masih dalam proses membangun branding, kalau sudah branding saya mau ganti model pasta Itali dengan ubi Indonesia, semuanya lokal,” terangnya.

Tribun Bali edisi 22 Juni 2015
*foto istimewa

No comments:

Post a Comment