Friday, February 5, 2016

afternoon tea



Saya ingat dulu ketika masih belajar di Bandung, saya tinggal di sebuah Asrama Putri, arsitektur bangunannya masih bergaya Belanda. Ibu asrama, Tante Nani saya memanggilnya, suka membuat minuman tradisional seperti wedang jahe, bandrek, dll. Saya paling suka ketika disuguhi teh tawar dengan sepotong gula aren. Ini merupakan salah satu tradisi minum teh yang saya suka. Tehnya diminum terpisah dengan gulanya. Seperti tradisi minum teh di Jepang, waktu itu ada acara "tea ceremony" di Wakayama University. Saya melihat bagaimana meracik green tea (matcha) dan cara meminumnya. Setiap langkahnya mengandung filosofi, bahkan cara memegang mangkuknya, mengandung makna penghormatan. Tehnya cukup pahit, sebagai pemanisnya kita harus memakan sepotong kue. Tentunya setiap tempat memiliki tradisi minum teh yang berbeda, di Indonesia sendiri, setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Seperti di rumah saya di taliwang, minum teh biasanya ditemani biskuit atau roti.
 
Ketika minum teh, saya suka minum teh tawar sambil membaca sebuah buku, biasanya buku puisi. Secangkir teh rasanya cukup manis ditemani puisi. Setelah ngeteh dan membaca, saya merasa rileks sehingga terkadang menulis beberapa hal tidak tentu, tergantung perasaan yang didapatkan saat meminum teh :D. Minggu ini saya berkesempatan menulis kisah perjalanan 3 perempuan hebat. Satu di antaranya terbit hari minggu ini, seorang penulis muda Bali yang kemarin mewakili Bali di sebuah festival menulis di Melbourne, Australia, Ni Made Purnamasari. Buku puisinya Bali-Borneo mendapat penghargaan sebagai Buku Pilihan Anugerah Hari Puisi 2014 dari Yayasan Sagang dan Indopos. Sore ini saya mendapat sms, kalau ia sudah melihat korannya.. Berkesempatan berbiacara dengan seseorang dan mendengar ceritanya memberikan banyak makna. Rasanya seperti sedang meminum teh di sore-sore ditemani puisi. Simple but meaningful.



 
Ni Made Purnamasari, Mencintai Bali Dengan Berkarya Sastra

Sejak duduk di sekolah menengah pertama, Ni Made Purnamasari aktif dalam kegiatan teater dan seni. Perempuan yang lahir di Klungkung, 22 Maret 1989 ini kini sedang melanjutkan studi magisternya di Universitas Indonesia mengambil jurusan Manajemen Pembangunan Sosial. Ia mendapatkan beasiswa penelitian dari Frans Seda Foundation dan Universitas Indonesia untuk melakukan riset sosial budaya bekerjasama dengan Universitas Tilburg, Belanda. Beberapa waktu yang lalu, perempuan yang akrab disapa Purnama ini juga diundang dalam Emerging Writers Festival 2015 di Melbourne, Pembacaan Sajak di Monash Asia Institute, serta Salihara International Literary Biennale 2015.

Lahir dan besar di Bali, menjadikannya perempuan Bali yang mencintai seni dan budaya. Setelah tamat SMA, Purnamasari melanjutkan studi di Universitas Udayana mengambil jurusan Antropologi. Kecintaannya terhadap Bali, memberikannya inspirasi dalam berkarya. Buku antologi puisinya yang berjudul Bali-Borneo menceritakan tentang pencarian. “Dari karya sederhana ke pencarian, dari cerita sehari-hari hingga pertanyaan tentang diri, juga keraguan akan kenyataan. Bali-Borneo mencerminkan semua hal tersebut. Sebuah jalinan imaji perihal pertemuan, pengembaraan, serta lirihnya igau lamunan,” ungkap Purnamasari. Antologi puisi ini keseluruhannya terinspirasi dari pulau dewata serta sebuah puisi yang bejudul Borneo. Pada 2014, buku ini mendapat penghargaan sebagai Buku Pilihan Anugerah Hari Puisi 2014 dari Yayasan Sagang dan Indopos.

Karya-karya puisinya pernah dimuat di Kompas Minggu, Koran Tempo, Media Indonesia dan Bali Post, juga telah dibukukan, termasuk dalam Buku Antologi 100 Puisi Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana 2007 serta buku antologi Temu Penyair 5 Kota di Payakumbuh yang berjudul “Kampung Dalam Diri”. serta Antologi Puisi Indonesia Terbaik Anugerah Sastra Pena Kencana (2008 dan 2009), Temu Sastrawan Indonesia (2010 dan 2011), Antologi Ubud Writers and Readers Festival (2010), Antologi ‘Couleur Femme’: Kumpulan Puisi Indonesia-Perancis yang diterbitkan Alliance Francaise Denpasar beserta Forum Jakarta Paris (2010) dan sebagainya. “Puisi yang saya tulis banyak bercerita tentang pengalaman saya dalam memaknai hidup. Saya tidak terfokus untuk membuat puisi mengenai satu tema tertentu. Apa yang saya temukan, apa yang saya rasakan, apa yang saya ingin ketahui dan bahkan apa yang saya ragukan, kadangkala mewujud dalam puisi,”  jelasnya.

Tidak hanya sukses berkarya dalam puisi, sejak masih remaja, cerpen-cerpennya juga pernah meraih beberapa penghargaan seperti nominator Sayembara Penulisan Cerpen se-Bali NTB, nominator Cipta Cerpen Majalah Kawanku, pemenang harapan utama Selsun Golden Award 2006, Juara II Sayembara Cerpen Balai Bahasa se-Bali, Harapan III Penulisan Cerpen Pusat Bahasa Jakarta serta dimuat di majalah Femina dan Bali Post Minggu. Gelar Juara Umum Lomba Penulisan dan Pembacaan Puisi Sampoerna AGRO 2007 se-Indonesia serta Juara II Lomba Penulisan Puisi Nasional Dewan Kesenian Semarang 2007. Dalam hal kepenulisan, Purnamasari sangat mencintai dunia ini, esainya juga meraih juara I Lomba Esai Global Warming yang diadakan oleh Kompas Gramedia Fair 2007. Selain itu, karyanya (esai biografi) juga telah dibukukan dengan tajuk ‘Waktu Tuhan: Wianta” (2007). Ia juga turut dalam program Penulisan Cerita Rakyat dari Pusat Bahasa Jakarta tahun 2010.

Tak hanya itu, ia pun kerap menjuarai berbagai perlombaan baca puisi, baca cerpen dan beberapa kali terpilih sebagai pemeran terbaik wanita dalam lomba drama modern di Kota Denpasar. Sastra adalah dunianya, sebuah ruang untuk berkarya dan mngenal makna kehidupan. “Dalam menulis sering menemui kebuntuan. Untuk mengatasi itu, saya suka berjalan-jalan. Saya senang mencoba rute angkutan umum yang baru, duduk di stasiun atau halte dan melihat orang-orang lewat,  saya pun mendapat ide ternyata sebuah kota, manusia, dan hidup punya banyak sisi yang tidak kita duga.”

Bersama teman-temannya, ia mendirikan Komunitas : Sahaja, sekaligus berperan sebagai koordinator. Komunitas ini tak hanya bergerak pada bidang penulisan kreatif, melainkan juga kerap menyelenggarakan berbagai kegiatan seni dan budaya, seperti pertunjukan teater, pameran seni, serta event kesenian lainnya. Pada 2009, ia pernah juga ditunjuk sebagai Koordinator KOMPAS-Muda Bali dan Udayana Science Club tahun. Purnamasari aktif bergiat di Bentara Budaya Bali, TEMPO Institute dan kurator fiksi-budaya di blog publik Indonesiana dari Tempo.co.

Perjalanan Sastra Mengunjungi Beberapa Daerah
Aktif berkarya dan tekun, membuat hasil tulisannya semakin baik sehingga Purnamasari banyak diundang dalam berbagai acara, baik pertunjukan maupun diskusi sastra, di Bali serta di beberapa daerah lain di Indonesia, seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta, Padang dan Jakarta, termasuk diskusi dan peluncuran buku Antologi Cerpen ‘Lobakan’ di Goethe Institut Jakarta yang membahas kaitan antara sastra dan sejarah peristiwa 1965 di Bali (2009).
 
Perjalanan sastranya ini menambahkan banyak pengalaman bertemu dengan sastrawan-sastrawan Indonesia juga Asia Tenggara. Ia diundang mengikuti Program Penulisan Majelis Asia Tenggara (MASTERA): Esai yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Jakarta (tahun 2009), Mentor Program Penulisan Esai dan Workshop Kepemimpinan Tempo-Institute (2010), Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) tahun 2010, festival sastra internasional Ubud Writers and Readers Festival (2010), Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate (2011), program Penulisan Writers Journey bersama para penulis Australia (2012), dan Padang Literary Biennale 2014.

Mewakili Bali Dalam Ajang Penulis Australia
Perempuan kelahiran kelungkung ini terpilih sebagai partisipan program pertukaran bersama penulis Indonesia lainnya yaitu M. Aan Mansyur dalam Emerging Writers Festival Australia 2015 di Melbourne. Bertemu dengan para penulis dan bertukar ide, adalah hal yang paling dinanti. Menurutnya, bertemu untuk mendengar gagasan-gagasan mereka akan sangat menyenangkan, termasuk karya-karya terkini yang dibuatnya. Purnamasari yakin itu akan membantu untuk lebih mengenal kebudayaan masyarakat Australia di masa sekarang. “Ini pengalaman saya pertama kali ke Australia,” ungkpanya. Ia sangat antusias melihat bagaimana keseharian para penulis yang ternyata cukup berbeda dengan di Indonesia. Kebudayaan suatu bangsa selalu menarik minatnya, untuk menjelajah dan mengetahuinya lebih dalam lagi. Karenanya, kesempatan dan pengalaman yang diberikan untuk ikut dalam program ini merupakan hal yang begitu bermakna. “Saya sangat berterimakasih kepada Bali Emerging Writers Festival serta tentunya pihak dari Emerging Writers Festival di Melbourne,” jelasnya.
 
Sebagai penulis yang lahir dan besar di Bali, Purnamsari sangat gembira dengan munculnya para penulis muda, bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki, karena mereka terus melakukan eksplorasi karya, hal yang telah secara mendalam dilakukan penulis terdahulu seperti Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, Oka Rusmini, Cok Sawitri, Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, dll. Saat ini, ia sedang mencoba menulis novel yang sedang dalam proses editing. “Karya novel ini bercerita tentang seorang anak muda yang diminta menuliskan biografi salah satu seniman Bali yang sudah sepuh usianya. Dialog-dialog mereka mencerminkan hubungan antara generasi lama dan generasi muda di Bali, masa lalu pulau ini, juga kenangan-kenangan tentang orang-orang setempat,” jelas penulis yang mengagumi karya Robert Frost ini. Ia berharap, menulis sastra menjadi budaya yang lekat dengan generasi muda, bukan demi tujuan utaama menjadi sastrawan, namun untuk merawat kepekaan kreatif dan kesadaran atas nilai kemanusiaan. 
 
*terbit di Koran Tribun Bali, edisi Minggu 15 November 2015


No comments:

Post a Comment