Friday, February 5, 2016

memberi artinya menerima

Memberi artinya menerima, menerima rasa bahagia saat memberi. Ini hal yang saya dapatkan ketika berkunjung ke Yayasan Peduli Autisme Bali. Awalnya saya hanya lewat saja, tempat itu berada tepat di pertigaan jalan ke rumah kos saya Jln. A. Yani Denpasar, Bali. 

Berhari-hari saya hanya melewati papan nama ini, dan selalu melihat pintu bangunannya yang tertutup dan halaman yang sepi. Mungkin suatu hari nanti saya akan mengetuk pintu yang selalu terutup itu, batin saya. Beberapa waktu berlalu, seorang rekan kerja saya mengabarkan tentang acara yang akan diselenggarakan di ruang anak kanker RSUP Sanglah. 

Saya tertarik untuk ikut meliput, tepatnya ingin berbagi dengan anak-anak kanker ini. Di acara itu, terdapat sejumlah anak autis yang sedang menghibur anak-anak kanker dengan boneka jari yang merupakan hasil karya mereka sendiri. Anak autis menghibur anak kanker, mereka belajar bagaimana saling menguatkan. 

Saya ikut menghibur mereka dengan memainkan gitar mengiringi lagu "Laskar pelangi" yang mereka nyanyikan. Saya langsung bertemu dengan pemilik Yayasan Utisme Bali, Ibu Inayah sapaan akrabnya. Beberapa kali saya diundang untuk mengikuti acara di yayasannya, saya juga berniat untuk volunteer di sana. 

Ibu Inayah adalah seorang mualaf yang sangat yakin dengan kekuatan Tuhan Maha Kuasa. Karena nikmat itu, iya selalu bersyukur dengan cara selalu memberi. Well, memberi adalah memberikan sebagian dari diri kita sendiri untuk orang lain :D


 Smart Woman
Inayah Wyartathi, Mendidik Dengan Kasih Sayang
Inayah Wyartati bukanlah seorang psikolog. Ia hanyalah ibu rumah tangga biasa yang memiliki rasa kepedulian terhadap anak-anak autis. Hal ini yang mendorong dirinya mendirikan Yayasan Autisme Bali dengan Rumah Belajar Autis (RBA) yang bernama Sarwahita. Rumah belajar yang terletak di Jalan Ahmad Yani ini suah berdiri sejak 11 tahun yang lalu.

Penglamannya memiliki anak autis menggerakkan hatinya untuk berbagi dengan orangtua lainnya yang memiliki anak yang sama. Ternyata dengan berbagi, memberikan banyak manfaat bagi orngtua lainnya. Hingga beberapa orangtua mendukungnya untuk mendirikan lembga yang peduli terhadap autis khusunya di Bali. Perempuan yang akrab disapa Ina ini akhirnya mulai bergerak bersama teman-teman lainnya yang juga memiliki anak autis.

“saya berfikir, gimana kalau kita buka tempat sharing, kasian anak-anak, karena banyakjuga orang tua yang tertarik untuk sharing. Akhirnya beberapa orangtua dan seorang guru pikolog seutuju. Kami berangkatkla ke jakarta untuk training basicnya. Karena pada dasarnya, harus tau basic ilmu psikologi,” jelas Ina.

Setelah training di Jakarta, Ina mulai menjalankan yayasan autispada mei 2004. Dari mulai buka awalnya baru 5 anak. Seiring perkembangan waktu, muridnya bertambah menjadi 15 yang saat itu terapinya hanya baru bisa dibuka sore, karena pada saat itu guru-gurunya masih mengajar di tempat lain. Bertambahnya waktu, semakin banyak mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Di sela-sela itu, yayasannya juga kerap megnadakan seminar-seminar. “Karena kebetulan, pendiri Mandiga tempat anak saya terapi dulu beberapa di antaranya adalah tamatan psikologi, seorang guru memiliki 2 anak autis, jadi gurunya benar-benar konsen di dunia autis. Mereka adalah orang-orang yang peduli hingga sering keliling memberikan seminar seluruh Indonesia.

Karena orang-orang yang penuh kepedulian ini sangat mendukung kami, hingga mereka mau ke Bali untuk memeberikan seminar yng sesuai dengan kebutuhan orang tua pada saat itu, tentunya seminar tentang masalah autis,” jelasnya lagi.

Seminar sudah diadakan sekitar 5 seminar hingga saat ini dengan tema-tema yang bertahap mulai dari basic tentang autis. Selama mengadkan seminar, yayasan ini banyak mendapat respon masyarakat. Seminar yang benar-benar ditekan dengan harga tidak mahal, “kita berusaha sebaik mungkin, kalau bisa gratis, buat kami harapannya pengetahuan dari acara sminar ini bisa tersampaikan ke masyarakat,” tujuannya semakin banyak yang tau semakin banyak yang mengerti mengenai autis.

Minimal orangtua mulai mau mengajak anaknya konsultasi dan tidak malu bertanya. Kalau dulu orangtua lebih banyak menyembunyikan  karena malu. Ada orangtua yang tidak mengerti dan belum mau mengakui.  Bagi Ina, tujuan diadakannya seminar  yaitu lebih ke pengenalan orangtua supaya lebih mengerti bagaimana menterapi anak. Bahwa menterapi anak bukan hanya di tempat terapi tapi yang terpenting di rumah.

“Untuk merubah anak harus terus menerus, dari situ mereka belajar untuk berfikir, mengubah kebiasaannya setiap hari harus disiplin, konsisten, dan tega. Tiga itu kuncinya”. Disiplin harus diawali dari orangtua, dalam artian harus bisa menerima kondisi anak. Kalau sudah menerima maka kit akan berusaha untuk mencari solusinya. Kalau tidak bisa menerima maka akan selalu ada penolakan, sedangkan usia anak terus bertambah.

Kunci utama adalah orangtua yang hrus bisa menerima dulu. Sehingga orangtua akan mulai bergerak mencari solusi. Kemudian konsisten, jangan pernah berubah, dan tega dalam arti tegas kepada anak dan situasi.


Membangun Dengan Niat Berbagi
Membangun sesuatu pada awalnya sering dihadapkan oleh kendala-kendala. Ketika membangun yayasan autis ini, Ina mendapat kesulitan dalam mencari tenaga terapis yang memang benar-benar yang bukan berorientasi pada uang. Mencari tenaga terapis yang orientasinya gaji  mungkin gampang. Tapi yayasan ini murni dari niat yang memang ingin berbagi.

“Satu sisi saya tidak mungkin tidak membayar, dalam istilah gratis dan guru tidak dibayar. Karena keadaan mereka juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di satu sisi, saya tidak tega dengan orangtua anak, memungut biaya besar juga akan membebani orangtua,” ucngkap Ina. Setiap ada permasalahan, Ia selalu berdoa kepada Tuhan.

Ia yakin niat yangbaik akan ada jalan keluarnya, dimudahkan oleh Tuhan, itu yamg Ina yakini, hingga sekarang Ina rasakan sendiri banyak sekali pertolongan. “Banyak permasalahan yang dihadapi anak, intinya yang terpenting adalah kasih sayang orangtua,” jelasnya.

Bagi Ina yang paling penting juga adalah  mencari guru yang benar-benar peduli dengan anak-anak, guru yang menyayangi anak-anak autis ini dengan tulus. Kesulian seperti tempat, yang pada awalnya dibangun sedikit demi sedikit hingga sekarang bisa bertambah, meskipun masih kekurangan ruang. Seiring dengan bertambahnya jumlah anak yang mendaftar.

Setelah sekian lama, semakin tau kebutuhan anak, dengan itu juga metode semakin dikembangkan, begitupula kebutuhan akan fasilitas belajar dan berlatih anak. Perlengkapan alas tulis seperti juga meja dan kursi, alat bantu main anak-anak dengan kondisi anak yang bergerak tidak tentu membuat peralatan cepat rusak.


Belajar Kuat dan Sabar
Yang Ina syukuri, perkembangan untuk pengetahuan orangtua semakin tahun sudah semakin bagus. Banyak yang sudah mengetahui informasi tentang pendidikan anak autis. Orangtua sudah banyak yang semakin terbuka, meski sampai sekarang masih saja ada orangtua yang sulit menerima, bahkan merasa mampu punya uang banyak jadi seolah menggampangkan, menyerahkan sepenuhnya pada guru, padahal yang terpenting adalah orangtua.

“Anak yang berkembang baik, orantuanya berperan banyak, anak yang sulit berkembang akan terliht bedanya peran orantuanya yang masih kurang, ditandai dengan wajah anak yang kosong tidak hidup. Anak autis susah berbicara, kurang kasih sayang semkain merasa sendiri, tetap tidak merasakan kasih sayang yang bisa menghidupkan hati anak”.

Kebahagiaan tak terkira ketika bisa selalu bersyukur. Dengan kondisi penuh keterbatasan ternyata masih banyak yang kurang beruntung, masih banyak anak yang lebih parah. Ketika sudah berusaha dan hasilnya anak lebih baik, itu seperti keberkahan tersendiri. Mendidik anak autis mengajarkannya lebih kuat dan sabar. Proses itu memperkaya dirinya terutama  ketika saling membantu.

Semua orangtua murid menjadi saudara, karena suka duka dilalui bersama, berada pada nasib yang sama memiliki anak autis. “Saya hanya ibu rumah tangga biasa yang berusaha memberikan hal yang bermanfaat, saya selalu mencari apa yang bisa saya lakukan. Karena saya pernah mengalami dan ingin berbagi,” ungkap Ina.  

Ia bersyukur bertemu dengan guru-guru luar biasa dengan total dan tulus menyayangi anak-anak. Semuanya bisa bekerja dengan baik, tanpa mereka Ina bukan apa-apa. Ia bersyukur Tuhan mempertemukannya dengan guru-guru yang tepat.

Meskipun beberapa ada juga yang sulit kemudian tidak bisa melanjutkan mengajar. Setiap ada rejeki lebih, digunakan untuk mentraining guru-gurunya agar menambah pengalaman dan membuka wawasan mereka.


Kebahagiaan Melihat Senyum Anak-Anak
Harapannya, Ina ingin mempunyai wadah untuk menampung bakat-bakat anak-anak dalam satu hasil karya hingga hasilnya bisa dipasarkan. Dengan begitu orang umum bisa menerima mereka dengan hasil karya yang mereka terima dan hargai.

Dengan begitu anak-ana bisa diterima disekolah umum dengan mudah. “Bakat dan minat kita dukung dengna hasil karya, karena itu demi kelangsungan hidup mereka sendiri. Sulit ada yang mengerti mereka, karena sampai sat ini hanya orang-orang tertentu dan terdekat yang bisa berkomunikasi dengan mereka.

Berusaha untuk memberikan lapangna kerja dengan memasarkan hasil karya mereka, biasanya dijual di event-event . Anak-anak akan dlihat skillnya kemudian dikembangkan,” tambahnya. Sekarang sudah ada yang bisa memasak dengan baik, dan itu prestasi yan luar biasa bagi Ina.

Bisa membuat makanan seperti pizza, brownis kukus, dll. Setiap ada anak yang berkembang baik yang terlihat bakat dan minatnya harus langsung dikembangkan dengan pendidikan khusus seperti kursus agar anak semakin berkembang.

Untuk kedepannya, anak-anak diharapkan bisa menghasilkan uang sendiri. Hingga saat ini jumlah muridnya sudah 80 anak, dengan jumlah guru 13 orang. Muridnya bisa lebih banyak, namun kekurangan tempat. “Saya ingin selalu bisa berbuat sesuatu untuk orang lain, usaha yang berguna bagi orang lain.”

Semuanya mengalir begitu saja, bukan sesuatu yang direncanakan secara matang. Semuanya mengalir hingga bisa memberikan manfaat. Bagi Ina, dukanya terututp dengan melihat senyum anak-anak, melihat perkembangan anak-anak semakin baik, itu meberikannya kebahagiaan luar biasa. 


*terbit di Koran Tribun Bali edisi Minggu 29 November 2015

No comments:

Post a Comment