Baloq Sade Foundation,
ruang tengah
yang hangat
Pada masa lalu yang sendu,
beberapa pahlawan berjuang mempertahankan tanahnya dari penjajahan. Beberapa
mengalami masa-masa gemilang, beberapa mengalami masa runtuhnya. Di sebuah desa
di Tana Awu Lombok tengah, Desa Ungga namannya, Baloq Sade adalah salah seorang
pahlawan yang namanya sangat dikenal di desa ini pada masa lampau. Kini, nama
itu telah memberi inspirasi bagi beberapa pemuda yang akhirnya digunakan
sebagai nama sebuah rumah belajar untuk anak-anak. Di awal Januari 2014, saya dan Ismed
(alumni Canada-Indonesia Youth Exchange Program 2010) berkunjung ke sana. Baru
saja saya sampai, tempat itu sangat sepi, hanya sebuah bangunan dari dinding
bambu yang sederhana, rumput hijau dan beberapa bunga yang ditanam sangat asri.
Sore hari yang sejuk, pikir saya. Mas Junet, adalah pendiri rumah belajar ini
mempersilahkan kami masuk. Ia dulu mahasiswa pencinta alam (Mapala Unram) yang
baru saja pulang dari Australia untuk menyelesaikan gelar masternya. Seorang
teman yang tulus telah menyumbangkan halaman rumahnya untuk dijadikan tempat
belajar anak-anak ini. Bahkan rumahnya yang tidak besar juga dijadikan ruang
belajar. Anak-anak yang belajar di sini memang cukup banyak, lebih dari 50 anak
yang terdiri dari paling kecil yaitu paud sampai anak SMA. Anak-anak yang duduk
di kelas 1 sampai 3 SD belajar di atas terpal yang digelar di atas rumput,
dimana ketika mereka lelah dan tidur-tiduran bisa langsung memandang langit luas
yang menjadi atap kelas mereka. Musim hujan memang membawa berkah bagi
kebanyakan orang, tapi bagi anak-anak di sini, ketika hujan turun mungkin
kelas-kelas diliburkan. Bangunan dari dinding bambu yang beratapkan seng itu
memang bangunan utama rumah belajar ini, di dinding samping digantung beberapa
papan kayu tipis yang bertuliskan Baloq Sade Foundation dengan warna-warna
cerah.
Sukarelawan yang mengajar di sini
cukup aktif. Jadwal mengajar tiap sabtu sore, siang-siang mereka sudah
bersiap-siap datang dari daerah-daerah luar.
Kebanyakan dari mereka tergabung
dalam komunitas pecinta alam dan musik. Mereka anak muda yang peduli akan
keterampilan seni dan menjaga lingkungan, karena mereka peduli pada jati diri generasi
penerus dan pada keseimbangan alam.
Semuanya, termasuk anak-anak di
ajarkan melukis dan bermain musik. Beberapa lukisan dengan warna-warna unik
dan beberapa alat musik seperti jimbe
dan gitar digantung di sepanjang dinding bambu. Ada sebuah loteng kecil sebagai
ruang membaca, buku-buku berserakan dengan anak-anak yang menumpuk. Sulit tidak
terpesona pada pemandangan yang penuh kebebasan itu.
Dan seorang perempuan muda datang
dengan penutup kepala dari anyaman bambu dengan anaknya yang masih sangat
kecil, mungkin 3 tahun usianya.
“Ini anak saya mba, Cuma satu, mau ikut belajar
bahasa ingggris”, katanya kepada saya.
“Habis dari sawah Bu?”, tanya saya.
“Tidak mba, kami biasa memakai topi caping ini biar
gak panas kalau jalan kaki”.
Anak ibu itu sangat lucu dengan rambut yang disemir
pirang dan semangat mengucapkan kata-kata dalam bahasa inggris. Beberapa orang
tua juga mulai berdatangan dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil dan
dengan canda tawa hangat di mata mereka. Mendampingi anak-anaknya yang sedang
belajar, waktu-waktu seperti ini yang sudah hilang. Yang paling dibutuhkan
anak-anak ini adalah motivasi, inilah semangat yang kembali tumbuh. Saya
menemukan diri saya seperti berada di ruang tengah yang hangat.
No comments:
Post a Comment