Bangsa dari Awan
keluarga
Saya tak pernah menulis hal ini
sebelumnya, padahal saya selalu memperhatikan ini sejak saya kecil, dan
bertanya-tanya beberapa hal tentang kisah yang ada di desa saya. Banyak hal,
tapi saya memulainya menulis kisah dari rumah saya sendiri.
Kediaman Lalu Bangsawan Hidayat, Lingk.Motong Ds.Kuang, Taliwang, KSB
Beberapa waktu yang lalu, sekitar pertengahan 2013, saya baru saja pulang ke kampung halaman saya, Taliwang. Rumah saya terletak di Kampung Motong Desa Kuang, tepat di belakang SDN 11 Taliwang. Dimana ibu saya sudah hampir 40 tahun menjadi guru di sana, dan saya juga mengenyam pendidikan di sana.
Beberapa waktu yang lalu, sekitar pertengahan 2013, saya baru saja pulang ke kampung halaman saya, Taliwang. Rumah saya terletak di Kampung Motong Desa Kuang, tepat di belakang SDN 11 Taliwang. Dimana ibu saya sudah hampir 40 tahun menjadi guru di sana, dan saya juga mengenyam pendidikan di sana.
Kampung Motong, seperti namanya,
“motong” artinya hangus, pada jaman dahulu kampung ini memang pernah mengalami
kebakaran besar. Nama kampung ini yang sebenarnya sebelum bernama Kampung Motong
adalah Kampung Tengah Dalam, yang juga pada jaman dahulu kala adalah sebuah
Kerajaan Tengah Dalam. Siapapun ynang datang untuk pertama kali ke Kampung
Motong, dan menanyakan dimana letaknya, mereka akan mendapatkan jawaban bahwa Kampung
Motong adalah kampung yang banyak keturunan bangsawannya, begitu yang diyakini
beberapa orang. Di sebelah barat Kampung ini, ada sebuah pemakaman, “Makam Datu
Pangeran” namanya, tepat dibelakang masjid besar. Seperti namanya, pemakaman
ini memang pemakaman keturunan Datu Pangeran, yang nisannya berupa batu-batu
besar seperti batu marmer dengan ukiran tulisan arab yang menceritakan sejarah
atau perjalanan raja-raja tersebut.
Sejak saya kecil, banyak orang yang sering berdatangan ke rumah, orang-orang dari kampung lain, saya tidak mengenal mereka. Mereka datang untuk meminta air. Air. Air yang bisa menyembuhkan penyakit “Kerapa”, sejenis penyakit panas dalam. Saya belum paham mengapa orang-orang datang untuk meminta air pengobatan itu kepada Eyang saya. Eyang saya dikenal orang sebagai Lala Banda. Lala adalah sebutan untuk perempuan keturunan bangsawan. Mereka mengatakan keluarga saya adalah keturunan Sultan Jalaluddin dari Makasar. Saya melihat nama saya dan nama keturunan keluarga saya ada dalam sebuah buku tentang Kerajaan Sumbawa. Saya juga dipanggil Lala Anis, lalu adik saya Lala Denda, dan abang saya Lalu Aan, Lalu adalah panggilan gelar bangsawan untuk laki-laki. Ayah saya bernama Lalu Bangsawan, lalu orang-orang memanggilanya Dea Raden Awan (Aweng).
Makam satu diantara Pangeran Taliwang. Nisannya terbuat dari batu marmer dengan ukiran tulisan arab berkisah tentang perjlanan hidup.
Eyang saya, Lala Banda,
sebenarnya bukanlah Eyang yang berarti nenek. Nenek saya benama Soraya dan
sudah meninggal waktu saya masih teramat kecil. Eyang Lala Banda adalah sepupu nenek saya yang
sudah tidak punya orang tua lagi, akhirnya tinggal bersama keluarga kami. Lala
Banda, tidak memiliki anak, tidak pernah menikah. Dia menganggap saya sebagai
anaknya. Saya, Adik, dan Abang sudah dianggap seperti anaknya, kami
memanggilnya Ea’. Namun dintara semuanya, hanya saya yang dipanggil sebagai
anak Lala Banda. Saya yang paling dekat dengan Ea’ Lala Banda, saya sering
menghabiskan waktu di ruangannya. Saya sangat suka ketia Ea’ bercerita, dia
banyak memiliki cerita dongeng. Saya tidak bisa melupakan perasaan dan
imajinasi saya tentang dongeng-dongeng itu; bagaimana seekor pipit kecil yang
belum bisa terbang bisa berada di atas pohon yang sangat tinggi sampai ke
langit, bagaimana seorang perempuan menciptakan ukiran motif kain dengan bekas
jejak kaki lalat. Hanya ada 2 orang yang suka menceritakan saya dongeng, Ea’
dan ayah saya.
Dulu banyak yang tinggal di rumah
saya, “Jaman dulu rumah ini sangat besar, rumah panggung dengan halaman yang
luas dan tiang-tiang yang besar, semua keluarga tinggal di sini,” jelas Ibu.
Jaman dahulu setiap keturunan
raja harus menikah dengan sesama keturunan kerajaan. Banyak yang tidak menikah,
laki-laki maupun perempuan karena tidak mudah menemukan sesama keturunan raja. Salah
satunya Ea’ Lala Banda. Menikah sesama keturunan diyakini kelak kehidupan
keluarga akan bahagia dan tentram, saling mengasihi karena berasal dari
keturunan yang sama atau kerajaan sahabat.
Banyak kisah, termasuk yang masih
ada sampai sekarang adalah kisah air itu. Dari dulu orang-orang memang sudah
banyak berdatangan untuk meminta air itu, “mido kerapa” atau obat kerapa. Hanya
segelas air yang berasal dari air minum biasa. Orang datang dengan membawa
sebotol air, lalu Ea’ saya Lala Banda akan membacakan air itu dengan Al-Fatihah
dan doa yang dimohonkan kepada Allah SWT semoga penyakit yang diderita orang
itu cepat sembuh. Setelah air botol itu dibacakan doa Al-Fatihah lalu Ea’ Lala
Banda akan memberikan mereka “apus”, sejenis lulur atau bedak dingin yag terbuat
dari kayu “babak kelaner”.
Kayu babak kelaner, sampai sekarang
saya tidak tahu apa bahasa Indonesianya. Pohon ini hanya tumbuh digunung paling
pelosok, di sebuah desa bernama Seloto. Ea’ Lala Banda selalu meminta tolong
keluarga yang ada di Seloto untuk membawakan kayu babak kelaner. Kayu ini
ditumbuk halus lalu dicampurkan dengan beras yng juga sudah ditumbuk halus,
kemudian dibentuk bulat kecil seperti kacang telur, setelah itu dijemur. Obat
inilah “Apus”, yang sangat berkhasiat menyembuhkan panas dalam orang-orang yang
datang ke rumah saya. Apus bisa dipake sebagai lulur di seluruh badan agar
terasa segar, bisa juga di pakai sebagai masker wajah karena berhasiat
menghaluskan wajah juga menghilangkan jerawat, dan bagi yang menderita penyakit
panas dalam, mereka bisa meminumnya seperti obat, mencampurnya dengan minuman,
atau mengoleskan di kening dan leher agar meresap ke kulit dan saraf-saraf
menjadi segar.
Babak Kelaner, bagaimana Ea’ Lala
Banda bisa tahu khasiat kayu itu. Pada momen pulang kampung itu saya bertanya
kepada Tante saya, kakak dari Ayah saya, Aya Lala Embu saya memanggilnya. Nama
lengkapnya Lala Mas Cembuan, orang memanggilnya Lala Embu. Setelah Ea’ Lala
Banda wafat di tahun 2010, orang-orang tetap berdatangan untuk meminta air
“mido kerapa”, akhirnya Aya Lala Embu yang meneruskan. Aya Lala Embu menceritakan
sejarah mido kerapa ini. Memang sudah dari dahulu, sejak jaman buyut saya, lalu
turun temurun diteruskan sampai ke Ea’ Lala Banda, lalu sekarang Aya Lala Embu.
“Hanya keturunan kitalah yang bisa meneruskan,” jelasnya, lalu mulai bercerita.
Pada saman kerajan dahulu, yaitu
Kerajaan yang rajanya bernama Datu Jereweh. Putri dari kerajaan itu menderita
penyakit seperti penyakit panas dalam dan tak bisa disembuhkan. Hingga pada
suatu malam Sang Raja bermimpi tentang sebuah pohon yang tumbuh di atas gunung
di pelosok desa. Pohon itulah pohon babak kelaner. Akhirnya kayu pohon babak
kelaner ini dibawa ke istana dan dibuatkan darinya ramuan obat untuk Sang
Putri. Kemudian atas Kuasa Yang Maha Besar, Sang Putri sembuh. Banyak yang
mencoba melakukan pengobatan ini tapi tidak bisa, hanya keturunannya yang bisa,
“dan kita adalah keturunan kerajaan dari Datu Jereweh yang datang dari Kerajaan
Makasar”, jelasnya. Saya tidak tahu seperti apa sejarah kerajaan Sumbawa dan
Taliwang. Saya tidak akan menjelaskannya, yang saya tahu bahwa Kerajaan
Taliwang sudah ada 400 tahun sebelumnya dari Kerajaan Sumbawa. Bukti sejarah
banyak ditemukan, seperti makam-makan dan benda-benda bersejarah, namun sampai
sekarang banyak cerita yang berbeda-beda.
Bukan hanya cerita tentang babak
kelaner ini, tapi banyak beberapa barang antik yang diyakini sebagai
peninggalan sejarah ada di rumah saya, hingga pernah suatu hari beberapa orang
dari museum daerah datang ke rumah saya untuk membayar sebuah Bak Batu besar, “Teleku
Batu” namanya. Iya, Teleku Batu atau Bak Batu, sangatlah terkenal di Taliwang
khusunya di sekitar kampung saya. Setiap ada upacara adat pernikahan, semua
orang akan datang ke rumah saya untuk meminjam Teleku Batu ini, sebagai salah
satu tradisi upacara mandi pengantin. Teleku Batu ini seperti bak mandi besar,
terbuat dari batu alam yang halus dan berwarna kekuningan. Teleku akan diisi
dengan air yang didalamnya sudah ditaburi beraneka macam bunga yang wangi.
Sebelum acara adat “Barodak” atau berluluran saat malam persiapan resepsi
pernikahan, pengantin terlebih dahulu dimandikan dengan air dalam Teleku Batu
ini. Adat mandi dengan air teleku batu ini memang tidak wajib dilakukan, namun
ini sudah menjadi tradisi adat yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu
sampai sekarang. Kata orang, ini adalah bak mandi Sang Putri dari Kerajaan Tengah
Dalam, yang sekarang adalah tanah tempat rumah saya berdiri. Jadi ketika pengantin perempuan dan laki-laki melakukan upacara
mandi pengantin dengan Teleku Batu ini, rasanya seperti putri dan raja.
Iyah, begitulah sejarahnya.
Memang ada beberapa hal yang masih menjadi kepercayaan masyarakat. Seperti
ketika mereka selesai meminjam Teleku batu, mereka akan mengembalikannya dengan
beberapa isian seperti kembang 7 rupa, beras beberapa biji berwarna merah
kuning, buah, telur, kelapa tua, bahkan pernah ada sebuah ayam panggang. Aya
Lala Embu langsung marah dan menjelaskan kalau Teleku Batu ini hanyalah bak
batu biasa. Tidak perlu diisi dengan bunga 7 rupa bahkan sebotol air mandi
pengantin. Siapapun yang meminjam Teleku Batu ini, tolong dikembalikan
sebagaimana adanya waktu dipinjam, yaitu dalam keadaan kosong. Teleku Batu ini
sama dengan batu-batu yang lainnya.
Bukan hanya Teleku Batu ini yang
belum dipahami juga oleh beberapa masyarakat disekitar, air mido kerapapun
dianggap air ajaib. Banyak orang yang datang meminta air ke rumah saya untuk
obat panas dalam ini. Namun dengan tegas Aya Lala Embu menolaknya dan
menjelaskan bahwa air di rumah kami sama saja dengan air yang kalian minum
setiap hari, sama saja dengan semua air yang ada di dunia ini. Jadi ketika ada
orang yang datang untuk didoakan silahkan bawa air sendiri.
“Beli saja air botol di toko,
bawa ke rumah kami dan kami akan memohon doa kepada Allah SWT. Semua kesembuhan
adalah atas pertolongan Tuhan,” begitu Aya Lala Embu menambahkan. Maka sekarang
ketika orang-orang datang ke rumah mereka akan membawa air botol sendiri.
Namun ada kejadian unik, tepat
waktu saya mudik di tahun 2013 lalu, ketika itu ada 2 orang ibu-ibu dari desa yang
jauh, saya lupa nama desanya, mereka datang ke rumah, waktu itu ada saya, ibu,
dan Aya Lala Embu. Awalnya mereka masuk ke halaman rumah, dan bertanya apakah
ini rumah Lala. Iya, ibu saya menjawabnya dan mempersilahakan mereka masuk.
Saat itu malam hari, mereka datang dari sebuah desa yang bahkan Aya dan Ibu
saya baru mendengar nama desa itu. Mereka menceritakan kalau nenek mereka
sedang sakit, dan nenek mereka memimpikan tentang rumah kami, mereka disuruh
mencari rumah ini dan meminta air yang didoakan oleh orang rumah ini. Mereka
datang jauh-jauh tengah malam. Sudah lama nenek mereka memimpikan rumah ini dan
mereka berusaha menemukan sambil bertanya ke banyak orang.
Setelah orang itu pulang dan
diberikan air mido kerapa oleh ibu dan aya, tiba-tiba seorang teman saya
datang. Ririn namanya, dia sudah menikah dan membawa anaknya. Waktu itu dia
datang bersama suaminya juga, mungkin sudah 3 tahun saya tidak pernah bertemu
dengannya, teman SMA saya. Dia membawa sebotol air aqua dan menjelaskan kalau
anaknya sakit panas dalam. Semua obat dokter sudah tidak mempan kecuali mido
kerapa. Saya bertanya apakah sangat cocok Apus babak kelaner, dia menjelaskan
kalau sudah sering dia ke rumah saya untuk meminta mido kerapa sejak anaknya
sakit. Ketika minum air mido kerapa dan babak kelaner anaknya bisa sembuh
dengan cepat. Banyak cerita, bahkan orang dari luar kota seperti Jakarta dan
Kalimantan pernah datang untuk meminta air mido kerapa dan babak kelaner,
bahkan beberapa petugas kesehatan seperti bidan dan dokter sering meminta air
ini.
Entahlah, ini hanya air biasa
yang sama seprti air yang diminum oleh semua orang. Hanya sebotol air yang
dijual di toko-toko. Tapi atas Kuasa Tuhan melalui doa dan niat yang baik maka
memiliki kekuatan untuk menyembuhkan.
“Bangsawan dulu di sini, bukanlah
orang yang memiliki harta kekayaan yang banyak, tanah yang banyak, atau
memiliki kekuasaan. Bangsawan adalah gelar kehormatan bagi orang yang berprilaku
baik, sopan, dan halus. Mereka menjadi pemimpin, cendikiawan, dan berprilaku
lemah lembut. Mereka dianggap sama dengan orang-orang yang turun dari langit,
bangsa dari awan, atau disebut bangsawan,” Ucap Ibu saya.
Jaman dahulu memang sangat
berbeda dengan sekarang. Bahkan ketika saya kecil, teman-teman tidak pernah
datang ke rumah saya untuk bermain, saat itu saya belum paham mengapa. Alsannya
karena malu dan harus berprilaku sopan. Meski berasal dari keturunan kerajaan
tetapi di akte kelahiran kami sudah tidak disisipkan gelar bangsawan itu, Raden
Hidayat. Sebuah gelar seperti amanah, harus dipegang teguh dengan sepenuh keyakinan.
Walaupun sampai sekarang saya masih dipanggil Aya Lala Anis, tapi ini bukanlah
sesuatu yang harus dibanggakan, ini sebuah amanah. Awalnya terasa berat, terasa
sangat aneh, namun rasanya kehidupan tetap berjalan seperti biasa.
No comments:
Post a Comment