Chef Arie Trisnawan
ngobrol dengannnya seperti mencicipi pizza
Berbicara banyak hal dengan Chef Arie rasanya seperti mendapatkan hidangan pizza di atas meja. Aroma roti hangat dan gurihnya mozarela, hanya sebuah gambaran cara memasak pizza, rasanya seperti nyata. Tulisan ini untuk halaman Persona, Koran Tribun Bali.
“Kita tidak bisa menikmati kesuksesan kalau tidak bisa menikmati prosesnya,” kata Arie, pemilik sebuah rumah makan italian Food, Bellissimo Bali. Bellissimo bermakna handsome atau indah dalam bahasa Italia, ia berharap usaha kuliner pertamanya ini bisa menjadi sesuatu yang menawan hati setiap orang dengan menyajikan masakan Italia yang berkualitas dan harga yang terjangkau.
“Kita tidak bisa menikmati kesuksesan kalau tidak bisa menikmati prosesnya,” kata Arie, pemilik sebuah rumah makan italian Food, Bellissimo Bali. Bellissimo bermakna handsome atau indah dalam bahasa Italia, ia berharap usaha kuliner pertamanya ini bisa menjadi sesuatu yang menawan hati setiap orang dengan menyajikan masakan Italia yang berkualitas dan harga yang terjangkau.
Masakan Italia yang sangat menyehatkan dan resepnya menggunakan bahan sederhana membuatnya jatuh hati. “Saya sudah belajar banyak jenis makanan dari berbagai negara; masakan Jepang, Thailand, Chinese, Brazil, Meksiko, Yunani, pada akhirnya saya selalu kembali pada masakan Itali,” katanya. Lebih dari satu dekade ia bekerja, melakukan perjalanan, dan percobaan beberapa resep masakan, membuatnya cukup peka dengan rasa setiap masakan. “Masakan yang paling enak adalah masakan rumahan, dan tentu saja tanpa MSG,” jelas pria yang juga sangat suka nasi goreng ini.
Sekitar 3 tahun lamanya ia
benar-benar menggeluti masakan Italia, ia bekerja, ia lebih memaknainya sebagai
sebuah proses belajar. Bekerja tidak mau fokus pada satu tempat, ia bekerja
dibeberapa tempat yang menyajikan masakan Italia, ini membuatnya mendapatkan
banyak ilmu baru dalam memasak. Ia suka mencoba banyak hal, namun terkadang
segala sesuatu tidak bisa dipaksakan. Ia banyak melakukan percobaan masakan
baru dan sering juga tidak berhasil.
“Belajar itu seperti menangkap belut, harus terus berusaha, ketika tidak bisa juga, ya mungkin memang kita harus berhenti dan melepaskannya. Mencoba lagi mempelajari yang baru,” jelas ayah dari Galuh Dara Dinanti ini.
Baginya setiap orang itu bisa menjadi chef, bisa memasak satu masakan saja sudah cukup. Ia tidak pernah melihat pengalaman kerja ketika merekrut pegawainya. Baginya, yang mau belajar, berusaha, dan bekerja keras akan dengan senang hati ia terima.
12 tahun ia bermain di kuliner,
sampai ada kesempatan belajar di singapura selama 3 bulan di sana sambil
bekerja, tujuannya hanya untuk mengetahui style
masakan di sana. Sertifikat tidak berguna baginya, yang paling penting adalah
kemampuan.
“Saya masih terus belajar tentang makanan khususnya bahan apa saja yang bisa dicampur. Pizza Margherita, sejarahnya dulu Ratu Italia datang ke Nepolis dan dibuatkan makanan spesial dengan paduan warna bendera Italia. Putih didapatkan dari adonan, merah dari saos tomat dan paprika, dan hijaunya dari daun basil, kita harus tau ceritanya ketika membuat sesuatu. Saya terus belajar, membaca, dan sharing sama teman-teman dari luar.” Jelas pria asal Singaraja ini.
Pengalaman Bekerja Dengan Orang Itali
“Saya bekerja dengan orang Itali,
dia sangat keras mendidik saya seperti tentara,” terangnya. Ia bekerja sampai
10 jam tanpa makan, karena menurut orang Italia, orang Indonesia selesai makan maunya
tidur. Akhirnya ia merasa tertantang dan mengurangi makan nasi. Ia punya anak 2
tahun perempuan, baru umur 5 bulan sudah diberi makan pasta, dan mengurangi
makan beras. Menurutnya itu bagus sekali, kalau makan tanpa beras itu lebih
bagus lagi karna gula dan karbonya sangat besar akan membuat orang cepat
mengantuk dan malas bergerak.
“Dia orang yang sangat baik, sampai sekarang kami berhubungan baik, terkadang minta resep ke saya, saya juga merasa berhutang budi.”
Bagi Ari, ia belumlah ada apa-apanya, bisa dikatakan wirausaha tanpa modal. Sebagai perantau ia merasa harus benar-benar berjuang, karena waktu itu merasa belum punya apa-apa.
“Orang kadang kaget melihat menu
saya yang banyak, mereka bertanya apakah saya ready untuk semua itu. Menu saya bisa sampai 30 memang cukup banyak
dari tempat yang lain untuk masakan Italia,” jelasnya.
Seperti bolognese, carbonara, spaghetti, ia juga menambahkan menu-menu
special of the month. Banyak yang
bertanya keputusannya menjual semua itu dengan harga yang murah dan memangnya
berapa banyak yang ia dapatkan?
“Saya hanya ingin mengenalkan ke
banyak orang, ini loh makanan Italia yang benar-benar sehat, anti MSG.” Bahkan
sausnya benar-benar murni bahan lokal. Satu item bahan, ia bisa kreasikan untuk
banyak model makanan, seperti dessert banana,
dan ice cream goreng, sama juga untuk
membuat pizza, bisa sampai 10 menu dengan nama yang berbeda. Seperti bolognese chicken ia kreasikan dengan
jamur menjadi menu baru dengan tambahan sedikit cream, hasilnya makanan baru dengan rasa yang unik dan berbeda.
“Rasanya sangat gurih, ada cream, dan lemparan mashroom sedikit. Sekarang saya lagi bikin green tuna yang
terinspirasi dari ibu mertua saya yang sedang bikin pindang. Seperti di Itali
ada anchopi yang terbuat dari ikan teri kecil-kecil yang di keringkan, saya
mencoba membuat itu dari tuna, saya membuatnya dengan keluaran hijau yang
didapatkan dari herb, hasilnya sebuah
rasa yang berbeda, sesuatu yang beda.”
Ingin Memajukan Indonesia
Impiannya ingin memajukan
Indonesia, mungkin berawal dari Bali. Ia hanya ingin memperkenalkan masakan
sehat yang asli dan berkualitas. Agar orang makan benar-benar makan bukan hanya
untuk difoto. Menurutnya, orang bisa terlena dengan memotret dulu sebelum
dimakan. Untuk kwalitas makanan, harus dimakan langsung ketika disajikan,
ketika waktu habis untuk difoto maka bentuknya berubah dan berkurang. Awalnya
masakan Itali paling gampang, dan paling cocok dengan lidah orang Indonesia,
dan bahannya semua gampang ditemukan, bahkan dari lokal. Semuanya ia ambil
sendiri ke petaninya dan ia buat sendiri adonannya. Menurutnya masakan Italia
benar-benar asli tanpa banyak plating
atau hiasan. Karena bukan untuk difoto, tapi rasanya yang enak dan juga
nutrisinya yang sehat. Masakannya sama sekali tidak memakai plating atau hiasan, karna khas makanan
Itali tidak ada garnishing, jelasnya.
“Saya lebih cendrung ke personal,
menyentuh lidah itu hal yang paling susah. Tantangannya masakan Italia di
Indonesia itu memberi rasa yang beragam karena pengaruh rasa dari masakan
indonesia yang beraneka, seperti nasi padang dll, sedangkan western itu testnya
datar. Saya berusaha untuk membuat test yang tidak datar, bisa memberikan
tendangan dan tidak menghilangkan rasa lokal, benar-benar fokus pada feel dan
testnya,’ jelasnya lagi.
Ia banyak diundang ke beberapa
tempat, tapi ia banyak menolaknya karena merasa belumlah hebat, “Saya baru
memulai,” katanya. Menurutnya kebanyakan yang sudah merasa berpengalaman
cendrung egois, susah diberi masukan, apalagi kalau umurnya sudah lebih tua.
Entrepreneur muda banyak yang gulung tikar, mereka belum paham makna dari
prosesnya.
“Saya benar-benar melakukan
semuanya, saya yang ke pasar, memasak, mencuci piring. Saya harus merasakan
semua prosesnya. Banyak komunitas entrepreneur yang masih sangat muda dan saya
selalu mendukung. Mereka terkadang ingin konsep yang komplit dan modal yang
besar, hasilnya belum bisa menutupi biaya semuanya.” Jelasnya.
Intinya ia berusaha memanfaatkan bahan yang ada, bahkan recycle sampah ia kreasikan menjadi hiasan. Seperti buah-buah yang bagus dan masih banyak sisanya saya buat sebagai saus. Pengalaman berkesan selama menjalani usaha ini, ia bisa menciptakan masakan baru dari bahan-bahan yang tidak terduga, sehingga orang akan memakannya dengan rasa yang unik.
Intinya ia berusaha memanfaatkan bahan yang ada, bahkan recycle sampah ia kreasikan menjadi hiasan. Seperti buah-buah yang bagus dan masih banyak sisanya saya buat sebagai saus. Pengalaman berkesan selama menjalani usaha ini, ia bisa menciptakan masakan baru dari bahan-bahan yang tidak terduga, sehingga orang akan memakannya dengan rasa yang unik.
“Saya gak pernah nyoba masakan
yang saya buat, seperti menu spesial. Ketika memasak dasarnya percaya aja. Kita
sudah kenal bahannya dan prosesnya seperti minyak dan panas apinya, kalau sudah
percaya dan tidak ragu lagi dengan rasanya, kita bisa jadi lebih PD dengan
masakan kita.”
Senang Bisa Membantu Orang Lain
Gede Komang Arie Trisnawan yang
sudah memulai usahanya sejak 2013 ini tidak mencari keuntungan yang banyak.
Menurutnya, banyak orang mungkin akan mempromosikan, tapi ia lebih ke orang itu
sendiri, dari teman ke teman. Hal yang paling penting adalah pegawainya bisa merasa nyaman dan cukup. Baginya, menjadi
orang kaya bukan itu tujuannya, yang paling ia inginkan bisa membantu orang
lain, peduli sama orang yang benar-benar membutuhkan.
Dari kecil pria berusia 30 tahun
ini memang hobi memasak. Sejak SMP ia mulai belajar masakan Bali sampai Karang
Asem. Setelah itu ia kuliah di banyak tempat mengambil jurusan manajemen, saat
itu ia belum mengerti hobi masak bisa menghasilkan uang. Ia bertemu banyak
orang dari seluruh daerah Indonesia ketika kuliah di Malang, setiap liburan ia
ke tempat mereka dan mencoba masakannya. Meski saat kuliah ia juga bekerja
sebagai tukang parkir dan tukang cuci piring, Ia belajar banyak hal di Malang,
bagaimana orang memulai usahanya.
Ia berusaha sampai tidak ada dana
suntikan tambahan lagi, sampai sekarang itu semua keluar dari hasil usaha ini,
sudah tidak ada dana pribadi seperti awalnya. “Saya masih dalam proses
membangun branding, kalau sudah branding saya mau ganti model pasta Itali
dengan ubi Indonesia, semuanya lokal,” terangnya.
No comments:
Post a Comment