Saya ingat dulu ketika masih belajar di
Bandung, saya tinggal di sebuah Asrama Putri, arsitektur bangunannya
masih bergaya Belanda. Ibu asrama, Tante Nani saya memanggilnya, suka
membuat minuman tradisional seperti wedang jahe, bandrek, dll. Saya
paling suka ketika disuguhi teh tawar dengan sepotong gula aren. Ini
merupakan salah satu tradisi minum teh yang saya suka. Tehnya diminum
terpisah dengan gulanya. Seperti tradisi minum teh di Jepang, waktu itu
ada acara "tea ceremony" di Wakayama
University. Saya melihat bagaimana meracik green tea (matcha) dan cara
meminumnya. Setiap langkahnya mengandung filosofi, bahkan cara memegang
mangkuknya, mengandung makna penghormatan. Tehnya cukup pahit, sebagai
pemanisnya kita harus memakan sepotong kue. Tentunya setiap tempat
memiliki tradisi minum teh yang berbeda, di Indonesia sendiri, setiap
daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Seperti di rumah saya di
taliwang, minum teh biasanya ditemani biskuit atau roti.
Ketika
minum teh, saya suka minum teh tawar sambil membaca sebuah buku,
biasanya buku puisi. Secangkir teh rasanya cukup manis ditemani puisi.
Setelah ngeteh dan membaca, saya merasa rileks sehingga terkadang
menulis beberapa hal tidak tentu, tergantung perasaan yang didapatkan
saat meminum teh :D. Minggu ini saya berkesempatan menulis kisah perjalanan 3 perempuan
hebat. Satu di antaranya terbit hari minggu ini, seorang penulis muda
Bali yang kemarin mewakili Bali di sebuah festival menulis di Melbourne,
Australia, Ni Made Purnamasari. Buku puisinya Bali-Borneo mendapat
penghargaan sebagai Buku Pilihan Anugerah Hari Puisi 2014 dari Yayasan
Sagang dan Indopos. Sore ini saya mendapat sms, kalau ia sudah melihat
korannya.. Berkesempatan berbiacara dengan seseorang dan mendengar
ceritanya memberikan banyak makna. Rasanya seperti sedang meminum teh di
sore-sore ditemani puisi. Simple but meaningful.
Sejak duduk di sekolah
menengah pertama, Ni Made Purnamasari aktif dalam kegiatan teater dan seni.
Perempuan yang lahir di Klungkung, 22 Maret 1989 ini kini sedang melanjutkan
studi magisternya di Universitas Indonesia mengambil jurusan Manajemen
Pembangunan Sosial. Ia mendapatkan beasiswa penelitian
dari Frans Seda Foundation dan Universitas Indonesia untuk melakukan riset
sosial budaya bekerjasama dengan Universitas Tilburg, Belanda. Beberapa
waktu yang lalu, perempuan yang akrab disapa Purnama ini juga diundang dalam
Emerging Writers Festival 2015 di Melbourne, Pembacaan Sajak di Monash Asia
Institute, serta Salihara International Literary Biennale 2015.
Lahir dan besar di
Bali, menjadikannya perempuan Bali yang mencintai seni dan budaya. Setelah
tamat SMA, Purnamasari melanjutkan studi di Universitas Udayana mengambil
jurusan Antropologi. Kecintaannya terhadap Bali, memberikannya inspirasi dalam
berkarya. Buku antologi puisinya yang berjudul Bali-Borneo menceritakan tentang
pencarian. “Dari karya sederhana ke pencarian, dari
cerita sehari-hari hingga pertanyaan tentang diri, juga keraguan akan
kenyataan. Bali-Borneo mencerminkan semua hal tersebut. Sebuah jalinan imaji
perihal pertemuan, pengembaraan, serta lirihnya igau lamunan,” ungkap
Purnamasari. Antologi puisi ini keseluruhannya terinspirasi dari pulau dewata
serta sebuah puisi yang bejudul Borneo. Pada 2014, buku ini mendapat
penghargaan sebagai Buku Pilihan Anugerah Hari Puisi 2014
dari Yayasan Sagang dan Indopos.
Karya-karya puisinya
pernah dimuat di Kompas Minggu, Koran Tempo, Media Indonesia dan Bali Post,
juga telah dibukukan, termasuk dalam Buku Antologi 100 Puisi Terbaik Anugerah
Sastra Pena Kencana 2007 serta buku antologi Temu Penyair 5 Kota di Payakumbuh
yang berjudul “Kampung Dalam Diri”. serta Antologi Puisi Indonesia Terbaik
Anugerah Sastra Pena Kencana (2008 dan 2009), Temu Sastrawan Indonesia (2010
dan 2011), Antologi Ubud Writers and Readers Festival (2010), Antologi ‘Couleur
Femme’: Kumpulan Puisi Indonesia-Perancis yang diterbitkan Alliance Francaise
Denpasar beserta Forum Jakarta Paris (2010) dan sebagainya. “Puisi
yang saya tulis banyak bercerita tentang pengalaman saya dalam memaknai
hidup. Saya tidak terfokus untuk membuat puisi mengenai satu tema
tertentu. Apa yang saya temukan, apa yang saya rasakan, apa yang saya ingin
ketahui dan bahkan apa yang saya ragukan, kadangkala mewujud dalam
puisi,” jelasnya.
Tidak hanya sukses
berkarya dalam puisi, sejak masih remaja, cerpen-cerpennya juga pernah meraih
beberapa penghargaan seperti nominator Sayembara Penulisan Cerpen se-Bali NTB,
nominator Cipta Cerpen Majalah Kawanku, pemenang harapan utama Selsun Golden
Award 2006, Juara II Sayembara Cerpen Balai Bahasa se-Bali, Harapan III
Penulisan Cerpen Pusat Bahasa Jakarta serta dimuat di majalah Femina dan Bali
Post Minggu. Gelar Juara Umum Lomba Penulisan dan Pembacaan Puisi Sampoerna
AGRO 2007 se-Indonesia serta Juara II Lomba Penulisan Puisi Nasional Dewan
Kesenian Semarang 2007. Dalam hal kepenulisan, Purnamasari sangat mencintai
dunia ini, esainya juga meraih juara I Lomba Esai Global Warming yang diadakan
oleh Kompas Gramedia Fair 2007. Selain itu, karyanya (esai biografi) juga telah
dibukukan dengan tajuk ‘Waktu Tuhan: Wianta” (2007). Ia juga turut dalam
program Penulisan Cerita Rakyat dari Pusat Bahasa Jakarta tahun 2010.
Tak hanya itu, ia pun kerap menjuarai berbagai perlombaan baca puisi, baca
cerpen dan beberapa kali terpilih sebagai pemeran terbaik wanita dalam lomba
drama modern di Kota Denpasar. Sastra adalah dunianya, sebuah ruang untuk
berkarya dan mngenal makna kehidupan. “Dalam menulis sering menemui kebuntuan.
Untuk mengatasi itu, saya suka berjalan-jalan.
Saya senang mencoba rute angkutan umum yang baru, duduk di stasiun atau
halte dan melihat orang-orang lewat,
saya pun mendapat ide ternyata sebuah kota, manusia, dan
hidup punya banyak sisi yang tidak kita duga.”
Bersama teman-temannya, ia mendirikan Komunitas :
Sahaja, sekaligus berperan sebagai koordinator. Komunitas ini tak hanya bergerak
pada bidang penulisan kreatif, melainkan juga kerap menyelenggarakan berbagai
kegiatan seni dan budaya, seperti pertunjukan teater, pameran seni, serta event
kesenian lainnya. Pada 2009, ia pernah juga ditunjuk sebagai Koordinator
KOMPAS-Muda Bali dan Udayana Science Club tahun. Purnamasari aktif bergiat di
Bentara Budaya Bali, TEMPO Institute dan kurator fiksi-budaya di blog publik
Indonesiana dari Tempo.co.
Perjalanan
Sastra Mengunjungi Beberapa Daerah
Aktif berkarya dan tekun, membuat hasil tulisannya semakin baik sehingga
Purnamasari banyak diundang dalam berbagai acara, baik pertunjukan maupun
diskusi sastra, di Bali serta di beberapa daerah lain di Indonesia, seperti Malang,
Surabaya, Yogyakarta, Padang dan Jakarta, termasuk diskusi dan peluncuran
buku Antologi Cerpen ‘Lobakan’ di Goethe Institut Jakarta yang membahas kaitan
antara sastra dan sejarah peristiwa 1965 di Bali (2009).
Perjalanan sastranya ini menambahkan banyak pengalaman bertemu dengan
sastrawan-sastrawan Indonesia juga Asia Tenggara. Ia diundang mengikuti Program
Penulisan Majelis Asia Tenggara (MASTERA): Esai yang diselenggarakan oleh Pusat
Bahasa Jakarta (tahun 2009), Mentor Program Penulisan Esai dan Workshop
Kepemimpinan Tempo-Institute (2010), Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) tahun
2010, festival sastra internasional Ubud Writers and Readers Festival (2010),
Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate (2011), program Penulisan Writers
Journey bersama para penulis Australia (2012), dan Padang Literary Biennale
2014.
Mewakili Bali
Dalam Ajang Penulis Australia
Perempuan kelahiran kelungkung ini terpilih sebagai partisipan program
pertukaran bersama penulis Indonesia lainnya yaitu M. Aan Mansyur dalam
Emerging Writers Festival Australia 2015 di Melbourne. Bertemu
dengan para penulis dan bertukar ide, adalah hal yang paling dinanti.
Menurutnya, bertemu untuk mendengar gagasan-gagasan mereka akan
sangat menyenangkan, termasuk karya-karya terkini yang dibuatnya.
Purnamasari yakin itu akan membantu untuk lebih mengenal kebudayaan
masyarakat Australia di masa sekarang. “Ini pengalaman saya pertama kali ke
Australia,” ungkpanya. Ia sangat antusias melihat bagaimana keseharian para
penulis yang ternyata cukup berbeda dengan di Indonesia. Kebudayaan suatu
bangsa selalu menarik minatnya, untuk menjelajah dan mengetahuinya lebih
dalam lagi. Karenanya, kesempatan dan pengalaman yang diberikan untuk ikut
dalam program ini merupakan hal yang begitu bermakna. “Saya sangat berterimakasih
kepada Bali Emerging Writers Festival serta tentunya pihak dari Emerging
Writers Festival di Melbourne,” jelasnya.
Sebagai
penulis yang lahir dan besar di Bali, Purnamsari sangat gembira dengan
munculnya para penulis muda, bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki, karena
mereka terus melakukan eksplorasi karya, hal yang telah secara mendalam
dilakukan penulis terdahulu seperti Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, Oka
Rusmini, Cok Sawitri, Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, dll. Saat ini, ia sedang
mencoba menulis novel yang sedang dalam proses editing. “Karya novel ini bercerita
tentang seorang anak muda yang diminta menuliskan biografi salah
satu seniman Bali yang sudah sepuh usianya. Dialog-dialog mereka
mencerminkan hubungan antara generasi lama dan generasi muda di Bali, masa
lalu pulau ini, juga kenangan-kenangan tentang orang-orang setempat,”
jelas penulis yang mengagumi karya Robert Frost ini. Ia berharap, menulis
sastra menjadi budaya yang lekat dengan generasi muda, bukan demi tujuan utaama
menjadi sastrawan, namun untuk merawat kepekaan kreatif dan kesadaran atas
nilai kemanusiaan.
*terbit di Koran Tribun Bali, edisi Minggu 15 November 2015
No comments:
Post a Comment