Ini adalah salah satu tulisan tentang tokoh kartunis Bali yang saya suka. Hasil karya seninya sangat hebat. Saya senang sekali berkesempatan bertemu dan mewawancarinya, beliau orang yang sangat ramah dan baik sekali meluangkan waktunya untuk membagikan pengalamannya, di tengah kesibukannya mempersiapkan pameran di Australi.
Ini adalah kisah perjalnan hidupnya jatuh bangun hingga menjadi seorang maestro. Yang dia miliki adalah keyakinan dalam berkarya seni dan kepedulian sosial terhadap perkembangan Bali di era modern ini. Tulisan ini untuk halaman Persona, Koran Tribun Bali.
Ini adalah kisah perjalnan hidupnya jatuh bangun hingga menjadi seorang maestro. Yang dia miliki adalah keyakinan dalam berkarya seni dan kepedulian sosial terhadap perkembangan Bali di era modern ini. Tulisan ini untuk halaman Persona, Koran Tribun Bali.
Jango Pramartha Bersama “Bog-bog”
Menertawakan Bali dari Kuta Hingga Eropa
Melalui kartun, Jango Pramartha kerap
melakukan perjalanan ke luar negeri. Bersama Bog-bog Magazine, pria yang akrab
disapa Jango ini sering diundang untuk mengadakan pameran di negara-negara
seperti Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis. Bog-bog adalah majalah kartun bulanan yang pertama
diterbitkan di Bali pada 1 April 2001. Dalam ekspresi Bali, “Bog-bog” artinya “bohong”
sesuai dengan karakter kartun itu sendiri; bohong, tidak masuk akal, tetapi tetap
menghibur. Mengangkat fenomena sosial masyarakat Bali dengan gaya-gaya humor kartunnya
yang khas, majalah kartun unik ini akhirnya bisa diterima oleh semua kalangan.
Perjalanan usaha Jango tidak ditempuh dalam waktu yang instan, ia sudah mulai
menjual karyanya sejak 20 tahun yang lalu.
Jango mulai banyak mendapatkan pengakuan karena aktif dalam mendesain di banyak media. Pada 1996, ia mulai membuka usaha di Kuta bernama Jango Pramartha Shop (JOP Shop) di Legian yang kontrak awalnya sekitar 18 juta per tahun. Di Kuta ia senang melihat perkembangan pariwisata dan perubahan sosial yang terjadi, bagiamana orang luar melihat Bali. Di sana Jango mulai menjual karyanya dalam media t-shirt. Kesitimewaan t-shirt Jango diadopsi dari karya kartunnya yang simple namun memilki keunikan dari kaus-kaus khas Bali yang lebih mengandalkan tema beautiful Bali.
Karya dalam kausnya lebih mengarah pada mengkritisi Bali. Banyak orang yang melihat karya ini mengandung sindiran dan membenci Bali, padahal justru kebalikannya, “orang melihat saya membenci Bali padahal tidak sama sekali, saya justru mencintai Bali dengan mengkritisi. Ketika orang mengkritisi itu sangat membangun. Saat itu Bali sedang berada dalam globalisasi, disitulah Bali harus memilki filter yang kuat,” tutur jango. Karya Jango memiliki konsep itu, bahwa tradisi bukan sebuah kemunduran, globalisasi bukan sebuah kemajuan, disitulah karya Jango bermuara.
Akhirnya usaha t-shirt kartun jango berkembang pesat, begitu ramai pembeli sampai di kalangan artis. Banyak media yang melirik sehingga orang datang ke Bali banyak yang membeli t-shirt-nya sebagai oleh-oleh Bali yang wajib di bawa pulang. Orang meilhatnya bukan membeli t-shirt, tapi membeli sebuah ide dan pemahan baru, bahwa disertai dengan art maka memiliki nilai tersendiri, dan itu semua berjalan dengan baik. Dari hasil penjualan, Jango setiap tahunnya selalu melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melihat banyak hal yang memberikan inspirasi seperti Belanda, Jerman, Perancis, dan Australia.
Gulung Tikar Saat Krismon
Dari awal membuka usahanya sejak
1995 sampai 2001, semua rasanya masih mudah. Usaha semakin berkembang di Kuta
dan mengalami beberapa perpindahan tempat. Dari kontarakan yang harganya Rp 18
juta pertahun, sampai lebih besar menjadi 24 juta hingga 39 juta pertahun.
Namun pada 2001, usaha mulai banyak mengalami tantangan ketika krisis moneter
melanda.
Masa itu benar-benar seprti badai, sangat menguras pikiran mengenai bagaimana nasib usahanya kelak. Waktu itu harga kontarakn naik menjadi 150 juta pertahun, melihat kenaikan drastis itu Jango tidak bisa melakukan kerjasama lagi. “Di sana masa—masa sulit mulai melanda, saat itu tidak ada perkerjaan, benar-benar down,” ungkap Jango. Keadaan itu sempat membuatnya bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya. Awal 2002 keadaan semakin sulit, toko akhirnya tutup.
Keputusan itu yang membutnya sangat sedih di tengah keadaan tidak ada pemasukan. Jango mencoba menitipkan barang pruduksinya di tempat lain seperti Ubud dan Sanur, namun tidak sebagus seperti waktu di Kuta. Beberapa bulan kemudian terjadi Bom Bali yang dulu sangat dekat dengan tokonya. Seandainya toko masih buka mungkin Jango dan keluarga akan ikut menjadi korban. Dari pemikiran itu ia memiliki semangat untuk bangkit, dan yakin semua pasti ada hikmahnya.
“Mungkin Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik untuk saya,” ungkapnya. Sebulan setelah Bom Bali, seorang teman mendatanginya dan mengajak membuat majalah. Masa-masa sedih tidak mempunyai pegangan apa-apa sedangkan ia sudah berkeluarga. Jango belum mengerti tentang majalah, namun ia menyambut dengan baik karna berhubungan dengan kartun.
Masa itu benar-benar seprti badai, sangat menguras pikiran mengenai bagaimana nasib usahanya kelak. Waktu itu harga kontarakn naik menjadi 150 juta pertahun, melihat kenaikan drastis itu Jango tidak bisa melakukan kerjasama lagi. “Di sana masa—masa sulit mulai melanda, saat itu tidak ada perkerjaan, benar-benar down,” ungkap Jango. Keadaan itu sempat membuatnya bingung apa yang harus dilakukan selanjutnya. Awal 2002 keadaan semakin sulit, toko akhirnya tutup.
Keputusan itu yang membutnya sangat sedih di tengah keadaan tidak ada pemasukan. Jango mencoba menitipkan barang pruduksinya di tempat lain seperti Ubud dan Sanur, namun tidak sebagus seperti waktu di Kuta. Beberapa bulan kemudian terjadi Bom Bali yang dulu sangat dekat dengan tokonya. Seandainya toko masih buka mungkin Jango dan keluarga akan ikut menjadi korban. Dari pemikiran itu ia memiliki semangat untuk bangkit, dan yakin semua pasti ada hikmahnya.
“Mungkin Tuhan mempunyai jalan yang lebih baik untuk saya,” ungkapnya. Sebulan setelah Bom Bali, seorang teman mendatanginya dan mengajak membuat majalah. Masa-masa sedih tidak mempunyai pegangan apa-apa sedangkan ia sudah berkeluarga. Jango belum mengerti tentang majalah, namun ia menyambut dengan baik karna berhubungan dengan kartun.
Gejolak Pergantian Nama
Awal kata Bog-bog berasal dari
bahasa Bali yang artinya bohong. “Kartun itu bohong namun menghibur. Saat itu
terlibat dalam kartun politik. Politik sifatnya sering bicara jujur tapi banyak
bohongnya. Sedangkan kartun memang bohong namun menghibur masyarakat.
Akhirnya lahirlah Bog-bog. Awal kemunculan banyak yang protes, tidak mungkin Bog-bog ini disebut sebagai majalah yang memberikan informasi, orang gak mungkin membeli berita yang isinya bakal dibohongin. Karena bogbog itu bohong dan orang gak mau dibohongi,” jelasnya. Gejolak mulai terjadi, sempat mengalami pergantian nama, namun Bog-bog ternyata mempunyai banyak makna dari berbagai bahasa asing. “Maknanya sangat unik, ada yang bermakna toilet bahkan juga bermakna Tuhan. Justru kita harus membut nama yang unik sesuai pakem masa saat itu. Intinya kita coba aja, dan akhirnya masyarakat menyambut,” ungkap Jango.
Dengan ide yang fungky, bog-bog masih gratis, namun ternyata semua orang dari semua kalanngan ikut mengambil sehingga cepat habis dan banyak juga yang tidak kebagian. Dari situ Jango memilki semangat yang baru, melihat banyak orang yang menyukainya, sampai ke hotel-hotel. Dan sudah dikenai harga 5000 per biji. Setelah Bog-bog mengalami kemajuan dan bisa berjalan, naluri menjual t-shirt kembali muncul. Pada 2005 Bog-bog mengalami perkembangan dan memiliki artshop sendiri.
“Konsep Bog-bog mentertawakan Bali melihat Bali seperti diri sendiri, dan harus siap mengkritisi diri sendiri. Banyak masyarakat yang memberikan pendapat untuk mengeraskan karya-karya saya dalam mengkritisasi pemerintah. Saya hanya menggambarkan kepada masyarakat kalau disekitar kita sedang terjadi banyak perisitiwa, masyarakat memilki pandangan tersendiri. Saya tetap menjadi politikal kartun kalau di media, untuk mengasah intelektual dan belajar terus dalam berkesenian, namun untuk Bog-bog spesial art and culture dan social change yang ternyata gk ada habis-habisnya,” ungkapnya.
Akhirnya lahirlah Bog-bog. Awal kemunculan banyak yang protes, tidak mungkin Bog-bog ini disebut sebagai majalah yang memberikan informasi, orang gak mungkin membeli berita yang isinya bakal dibohongin. Karena bogbog itu bohong dan orang gak mau dibohongi,” jelasnya. Gejolak mulai terjadi, sempat mengalami pergantian nama, namun Bog-bog ternyata mempunyai banyak makna dari berbagai bahasa asing. “Maknanya sangat unik, ada yang bermakna toilet bahkan juga bermakna Tuhan. Justru kita harus membut nama yang unik sesuai pakem masa saat itu. Intinya kita coba aja, dan akhirnya masyarakat menyambut,” ungkap Jango.
Dengan ide yang fungky, bog-bog masih gratis, namun ternyata semua orang dari semua kalanngan ikut mengambil sehingga cepat habis dan banyak juga yang tidak kebagian. Dari situ Jango memilki semangat yang baru, melihat banyak orang yang menyukainya, sampai ke hotel-hotel. Dan sudah dikenai harga 5000 per biji. Setelah Bog-bog mengalami kemajuan dan bisa berjalan, naluri menjual t-shirt kembali muncul. Pada 2005 Bog-bog mengalami perkembangan dan memiliki artshop sendiri.
“Konsep Bog-bog mentertawakan Bali melihat Bali seperti diri sendiri, dan harus siap mengkritisi diri sendiri. Banyak masyarakat yang memberikan pendapat untuk mengeraskan karya-karya saya dalam mengkritisasi pemerintah. Saya hanya menggambarkan kepada masyarakat kalau disekitar kita sedang terjadi banyak perisitiwa, masyarakat memilki pandangan tersendiri. Saya tetap menjadi politikal kartun kalau di media, untuk mengasah intelektual dan belajar terus dalam berkesenian, namun untuk Bog-bog spesial art and culture dan social change yang ternyata gk ada habis-habisnya,” ungkapnya.
Tidak Sulit Mencari Uang Dengan Seni
Jango ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa dengan karya yang serius orang bisa hidup. Bekerja keratif tidak ada habis-habisnya karena ide bisa bermunculan di banyak tempat. “Jangan takut dulu berbicara kreatif . Saya tidak pernah tahu setelah Bog-bog ada, saya pikir saya tidak akan bisa berkesenian lagi. Ternyata sangat bisa karena seni bernilai luar biasa,” jelasnya.
Sampai sekarang, jango mempunyai karyawan sekitar 22 orang. “Banyak yang berfikir sulit mencari uang dengan seni, sementra saya merasakannya sendiri itu sangat bisa. Banyak teman seni yang memberikan dukungan dan semangat. Banyak sekali hal seni yang mencangkup semua lini terutama pariwisata,” jelas Jango. Banyak orderan dari hotel termasuk membuat sketsa-sketsa.
Dari pengalaman ini Jango ingin menyampaikan bahwa urusan kreatifitas sangat luas sekali termasuk dalam hal ekonomi. Kreatifitas tidak selalu ikut mengalami krisis seperti ekonomi. “Tidak usah takut memulai usaha, apapaun yang kita kreasikan akan bisa berkembang, orang sering takut dalam memulai. Seperti kata Bob salinu bahwa bisnis adalah sesuatu yang harus dimulai, bukan sesuatu yang hanya dipikikan, harus ada kberanian, sampai kita menjalaninya” jelasnya.
Jango sangat bersyukur sekarang sudah bisa berbagi dengan orang lain dan membuka lapangan pekerjaan. Pada 2013 ia mendapatkan pengharggan dari MURI sebagai majalah kartunis budaya yang menggunakan bahasa inggris pertama di Indonesia. “Seluruh Indonesia banyak yang pesan, justru sekarang banyak melakukan pameran produk di luar negeri. Pada tahun ini mendapatkan undangan bergengsi dari frankfurt bookfair dan pameran di Aaustralia.
Pengharggan diberikan oleh Pemerintah Kota Denpasar di bidang budaya dan dari Bank Lestari di bidang entrepreneurship 2015, pengharggan terbaru dari Herawan Kertajaya pada Juli 2015 di bidang enterpreneurship di sektor ekonomi kreatif.
Penting Membina Hubungan Dalam Usaha
Selain berjualan, Jango selalu memberikan atmosfir positif terhadap orang-orang yang datang ke Bali. Bule yang datang ke bali diberikan pemahaman culture lewat kartun. Setiap tahun sekitar 4 kampus internasional yang berkunjung, Jango mengajak mereka ke rumahnya yang masih tradisional. “Dari situ mereka bisa melihat rumah Bali yang masih ada lumbung, dan bangunan kuno, saya sangat mempertahankan itu, saya jelaskan tentang khas rumah bali dari setiap dekorasi kamar orangtua sampai bangunan tempat orang meninggal dan potong gigi.
Mereka yang datang itu tidak terlepas dari hubungan yang saya bina saat berada di luar bersama orang-orang penting seperti antropolog dan profesor, karena hubungan dan jaringan itu sangat penting. Mereka mengatakan kalau ke bali ingin melihat culture, perubahan sosial, bisa menghubungi Jango dengan Bog-bognya, jelasnya. Setalah mendapatkan gambaran tentang culture Bali, orang akan mudah memahami Bog-bog, dengan begitu mereka tertarik sehingga banyak yang membeli beberapa produk mulai dari majalah, t-shirt, postcard, gantungan kunci, pin, topi, tas, dll.
Mahasiswa yang berkunjung bukan hanya dari universitas dalanm negeri seperi ITB dan Petra, tapi juga institusi luar negeri seperti SIT, Minnesota University, Holland School, The University of Western Australia. “Dalam ekonomi keratif, karya itu memilki energi. Omset mencapai 150 juta perbulannya, karya bisa berputar hingga mencapai sedemikian. Harus bisa berkembang lagi,” ungkapnya.
Untuk kedepannya Jango berencana akan membut kedai kartun, diamana orang berkunjung bisa dibuatkan sketch wajahnya. Banyak hal yang bisa dikerjakan, termasuk mengajak anak muda ikut berkarya. Sharing bagaimana karya seperti kartun akan bernilai tinggi ketika memilki roh yang kuat, hidup di masyarakat, ikut merasakan perubahan sosial. Karya tidak harus rumit, bentuk simple namun bisa menyentuh hati.
“Saya sangat bersemangat ketika ada mahasiswa dtang, bagaiamana mengajak anak muda berfikir kreatif tentang ide. Ketika kita jalankan ide kreatif itu tetap harus ada manajemennya. Sehingga hasilnya akan tertata dengan baik,” jelas Jango. Pengalaman yang paling berkesan adalah ketika mengadakan pameran produk ke luar pertama kali pada 1994, 20 tahun kemudian Jango diundang kembali untuk Pameran pada 2013 di tempat yang sama di Fremantle Art Centre.
“2011 ada pameran di Jerman tema globalisasi. Tiba-tiba sepulang dari Jerman ada 2 bule datang yang merupakan kurator dati Perth dan ketua Fremantle Art Centre dengan informasi bahwa 20 tahun lalu saya pernah pameran di sana. Kemudian mengundang saya melakukan pameran lagi, saat itu saya mengajak anak-anak Bog-bog ke sana dan mereka melihat bagaiman humor di kancah internasional,” ungkap Jango.
Kartun Mengantarnya ke Australia
Sedari kecil Jango senang
menggambar, kemudian setelah duduk di bangku SMA. Mulai aktif dalam pembuatan
majalah pertama kali di sekolah. Bersama teman-teman membuat majalah di SMA 3
Denpasar pada 1982. Dari keaktifan membuat majalah, Jango bergaul dengan
orang-orang yang berkecimpung di media. Pada 1982, Jango mengikuti program
pertukaran pemuda ke Melbourne Australia yang diselenggarakn oleh institusi di
sana. Pada perjalanannya ke Australia itulah Jango banyak terlibat pada
kegiatan kesenian.
Selama 2 bulan Jango mendapat inisiasi bahwa seni itu sangat menjanjikan. Jango melihat banyak sekali hal yang memberikannya inspirasi dan pemahaman baru tentang seni. Selama 2 minggu di melbourne, ia banyak menghabiskan waktu di museum, di sanalah Jango mendapatkan inkubasi tentang art. Tamat SMA ia langsung yakin melanjutkan kuliah di Udayana jurusan Desain Grafis.
Ia merasa selama ini bakat yang ada ditangannya mengarah ke kartun. Di kampus ia membuat studio yang bernama xyz studio yang bermakna semangat anak muda yang tak pernah luntur. Ia bersama temannya sering membuat lomba-lomba seni rupa. Ia membuat gebrakan yang sifatnya seperti pameran kartun pada 1986 yang bertajuk budaya, Bali Dalam Kartun.
Selama 2 bulan Jango mendapat inisiasi bahwa seni itu sangat menjanjikan. Jango melihat banyak sekali hal yang memberikannya inspirasi dan pemahaman baru tentang seni. Selama 2 minggu di melbourne, ia banyak menghabiskan waktu di museum, di sanalah Jango mendapatkan inkubasi tentang art. Tamat SMA ia langsung yakin melanjutkan kuliah di Udayana jurusan Desain Grafis.
Ia merasa selama ini bakat yang ada ditangannya mengarah ke kartun. Di kampus ia membuat studio yang bernama xyz studio yang bermakna semangat anak muda yang tak pernah luntur. Ia bersama temannya sering membuat lomba-lomba seni rupa. Ia membuat gebrakan yang sifatnya seperti pameran kartun pada 1986 yang bertajuk budaya, Bali Dalam Kartun.
Beberapa tema seperti reformasi, globalisasi, dan ekonomi, disambut oleh banyak orang. Sampai beberapa waktu Jango aktif di Bali Post. Di sana ia aktif berkarya, hingga hasil kreasi kartunnya dilihat oleh seorang antropolog dari Australia Carol Warren dari Murdoch University yang aktif memantau karya pameran sampai Jango tamat di 1991. “Saya mengirim gambar di Bali post dan beriteraksi dengan orang sastra, di sana yang belajar tentang kedalaman sasrta.
Carol mengajak Jango ke Australia pada 1993 sampai 1995 dan studi di sana. Setiap senin dan kamis jango melakukan presentasi kartun di University of Western Australia, saat itu ada kelas yang bernama Indonesian art and society. Di sana Jango banyak bertemu orang hebat dari Indonesia yang bergerak dalam art seperti Laksmi Pamuntjak, George Junus Aditjondro, dan masih banyak lagi.
“Saat pengalaman prenstasi itulah, saya melihat kartun sebagai one picture is a thousand words. Hanya sekedar memperlihatkan gambar orang-orang sudah langsung tertawa, tidak perlu banyak bicara,” ungkapnya. Dari situ Jango mendapatka sebuah inisisasi bahwa krtun itu luat biasa. Kebetulan Jango memiliki gaya kartun yang tidak suka banyak bicara, simple but meaningful.
Pada 1995 Jango mulai merintis pameran di luar negeri, terumata paling sering di Perth, dari Australi sampai ke Belanda dan Perancis. Bergaul dengan orang-orang sastra, Jango belajar tentang kedalaman, dari situlah karya kartunnya memiliki jiwa yang kuat.